DEFINISI PENJARA


PENJARA

Tak terasa ternyata cukup banyak catatan yg sudah sy buat khusus buat di share di Facebook, sejauh ini sy tak terlalu peduli apakah ada yg bersedia meluangkan waktu untuk membacanya, toh ini sekedar hobi pribadi (selalu ada kepuasan tersendiri setiapkali selesai membuat satu catatan). Apalagi menulis sama sekali bukan aktivitas sulit (di era teknologi canggih seperti sekarang). Setiap kali membuat catatan, baik untuk kepentingan di share maupun cukup jd koleksi pribadi, sy selalu menatap jauh ke masa depan, saat suatu waktu berkesempatan menjadi tua, lalu membayangkan biasanya apapun yg kita tinggalkan akan lebih bermakna setelah kita tiada. Jd, selama fisik sy masih lumayan sehat, selama akal pikiran sy masih cukup waras, dan tidak ada sesuatu hal serius yg jd penghambat, sy akan tetap menulis (dan membaca).

Anda mungkin agak aneh dgn tema catatan ini, “ngapain sih mikirin penjara? pengen nyoba ya..”, dlm catatan terdahulu sy pernah menyebutkan klo cabang ilmu sejarah adlah salah satu cabang keilmuan yg paling sy sukai (makanya pernah mencicipi bangku kuliah jurusan sejarah). Salah satu cabang keilmuan lain yg paling sy sukai adlah hukum (makanya pernah jg merasakan bangku kuliah jurusan perbandingan hukum dan madzhab –syang, lg gagal menuntaskannya-). Maka jangan heran, klo beberapa tulisan sy menyoroti problematika hukum. 

Sudah menjadi kodrat manusia, kita ditakdirkan dgn segala kelebihan dan segala kekurangan. Kita lahir dgn membawa modal kebaikan dan keburukan masing2 dengan ragam bentuk dan tingkatan berbeda. Ada org yg terlahir dgn segala potensi kebaikan, mampu menjaga dan mengembangkannya dgn baik, lalu menyebarkan kebaikan itu pada manusia lainnya. Demikian pula sebaliknya, ada manusia yg hadir dgn segala potensi keburukan, membiarkan potensi buruk itu berkembang dan berakhir dgn aneka perbuatan jahat yg merugikan makhluk lainnya. Tidak sedikit juga manusia yg kebaikan dan keburukannya seiring sejalan, harmonis dan saling mengalahkan, kadang jd manusia baik, lain waktu muncul sifat2 buruknya, itulah manusia.

Mengingat wujud manusia, baik dr sisi fisik maupun psikologisnya beragam, maka untuk menjaga agar manusia tetap tegak sbagai makhluk yg bermartabat, beradab dan menempati posisi vital sebagai khalifah dimuka bumi, Tuhan memberikan tata aturan dan pedoman hidup melalui syariat agama Islam. Mengingat tidak seluruh manusia menerima kebenaran Islam, maka sebagian manusia tersebut hukum2 yg diakui sebagai ‘hukum agama’. Setiap pelanggaran hukum (apapun bentuk hukumnya), tersedia ketentuan sanksi bagi setiap individu yg terbukti melakukan pelanggaran hukum. Sanksinya beragam, mulai dr yg paling ringan berupa hukuman penjara percobaan, sampai yg terberat yakni hukuman mati.

Penjara adlah bentuk sanksi sbagai bagian dr sistem hukum yg memiliki banyak fungsi, fungsi penderitaan bagi pelanggar hukum agar membuat efek jera, fungsi pengasingan dan fungsi pembinaan (anda tak perlu repot2 mencari di KUHP tentang fungsi2 ini, karena sy hanya mendasarkan pd persepsi sy sendiri). Penjara dlm aplikasinya adalah mengurung seseorang disatu tempat dan mencegah yg bersangkutan berinteraksi dgn masyarakat. Siapapun manusia normalnya menyukai kemerdekaan dan kebebasan, ketika kebebasan tersebut dibelenggu secara fisik, maka ia akan merasakan penderitaan. Apalagi penjara dikondisikan sedemikian rupa sehingga minim fasilitas. Dengan merasakan penderitaan, seorang narapidana diharapkan akan jera dan ketika masa hukumannya berakhir ia tidak mengulangi perbuatan melanggar atau melawan hukum. Dlm konteks ini, berbeda dgn hukuman mati, hukuman penjara memberikan cukup waktu bagi seseorang untuk insyaf. Fungsi berikutnya adalah fungsi pengasingan. Ketika ada seorang manusia yg mengganggu stabilitas keamanan dan rasa nyaman, maka salah satu cara yg paling efektif adlah mengasingkan org tersebut secara fisik dr komunitas masyarakat. Anda harus percaya bahwa ada org yg tidak pernah ‘sembuh’ dr perilaku mengganggu ketentraman masyarakat, selalu kambuh, maka org seperti ini bila kejahatannya tidak sangat serius, tempat yg tepat adlah di Lembaga Pemasyarakatan, mungkin seumur hidupnya. Org2 yg mengalami gangguan jiwa itu harus diasingkan, mendapatkan pengobatan, dan terkadang boleh jd tidak kunjung sembuh sampai ia meninggal. Org2 seperti ini harus diasingkan sementara waktu dr komunitas masyarakat. Terakhir fungsi pembinaan, kita harus punya optimisme bahwa mayoritas pelanggar hukum dapat dibina sehingga tumbuh menjadi individu yg mampu hidup bermasyarakat secara normal. Maka ketika seseorang diasingkan sementara waktu, ia dibina (dgn beragam metode dan cara).

Sampai pada tahun 1964, di negara kita konsep penjara kurang lebih masih seperti yg sy pahami. Lalu ada seorang reformis waktu itu, namanya Saharjo, mantan menteri kehakiman di masa orde lama yg melalukan perubahan revolusioner dgn mengedepankan cara pandang yg lebih manusiawi terhadap para pelaku pelanggaran hukum. Istilah “orang hukuman” diganti dgn narapidana, dan istilah “penjara” diganti “Lembaga Pemasyarakatan”. Saharjo berpandangan, penjara bukanlah tempat memberikan penderitaan pd org terhukum, tp sebagai tempat pembinaan agar mereka menjd org yg berguna di masyarakat.

Saya setuju dgn pandangan Saharjo, tp tidak seluruhnya. Saya setuju dgn istilah narapidana atau lembaga pemasyarakatan, tp menurut saya sebaiknya nama penjara tetap dipertahankan, bahkan klo perlu ada lagi nama lain, yaitu “kandang sampah masyarakat” (mungkin terlalu sarkastik, jngan terburu menggelengkan kepala sebelum sy jelaskan dasar argumentasinya). Secara riil, ada narapidana yg bisa dididik, dibina dan kembali ke masyarakat dgn perilaku yg jauh lebih baik. Org2 seperti ini semestinya tdk dipenjara dlm bentuk harfiah seperti yg kita kenal, tinggal berdesakan dlm ruang berjeruji. Mereka memang harus dikurung dlm satu tempat dgn durasi waktu berbeda, tp tempat dan fasilitasnya manusiawi. Normalnya org tidur di ranjang, ya kasih ranjang, ada fasilitas hiburan, olahraga, keterampilan, dan fasilitas pendidikan-pembinaan lainnya. Org2 seperti ini masih kita harapkan suatu saat keberadaannya di masyarakat.

Disisi berbeda, secara realita ada para penjahat, yg nilai2 kejahatannya sudah mendarahdaging dan sulit luntur sekalipun dipenjara berkali2. Misalnya, para perampok sekalipun berkali2 melakukan aksi perampokan dan masuk kategori residivis, konsekuensi hukumnya tetap sama, penjara. Akan sulit mendapatkan pasal2 KUHP yg bisa menjadi dasar hukum bagi hakim menjatuhkan pidana mati (kecuali disertai pembunuhan). Org2 seperti ini cuma layak dikelompokkan pd pelaku psikopat, artinya kecil kemungkinannya untuk benar2 sembuh, karenanya perlakuan yg diberikan jg mestinya ekstraordinary, mereka ini patut dimasukkan satu tempat yg diberi nama penjara, bahkan klo perlu didalamnya dipenuhi tulisan “kandang sampah masyarakat”, agar mereka menyadari bahwa selama ini mereka hanyalah manusia2 sampah yg sulit didaur-ulang. Istilah2 sarkastik itu secara psikologis akan memberikan tekanan mental yg kuat, efeknya bisa beragam, menjadi insyaf atau malah merasa bangga menjd ‘musuh masyarakat’. Tempatnya pun harus berupa penjara dlm arti sebenarnya, sekalipun tentu saja tetap memperhitungkan sisi manusiawi.

Saya ingin memberikan contoh sederhana, bila Lembaga Pemasyarakatan atau penjara dianggap sebagai wadah pembinaan. Realita di hampir setiap sekolah, mesti ada anak yg memiliki kenakalan dgn intensitas dan bobot gangguan sosial berbeda. Pelanggaran ringan satu dua kali cukup diatasi oleh guru kelas, bila terlalu sering maka akan direkomendasikan pd wali kelas. Satu kali pelanggaran berat biasanya langsung masuk ke ruang BP / BK. Bila pelanggaran berat itu dilakukan berulangkali maka solusi yg biasa diambil pihak sekolah ya mengembalikan anak pd orgtuanya, artinya sekolah memandang si anak tidak bisa diharapkan lg dapat dididik.

Maka konsep penjara mestinya juga begitu, berjenjang penanganannya. Sistem hukum kan tidk sekedar memperhitungkan aspek kemanusiaan narapidana, namun yg terpenting adalah kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak. Ketika seorang terdakwa dgn memperhitungkan track record dan analisa dr catatan kepribadiannya masih berpotensi untuk diperbaiki, maka hakim dapat memutuskan yg bersangkutan dihukum penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Tp bila si terdakwa, sesuai track record dan analisa psikiater/psikolog ternyata kemungkinan setelah bebas berpeluang mengulangi perbuatannya, maka hakim dapat memutuskan hukuman penjara di “lembaga Penjara”. Bukankah ini berarti perlakuan diskriminatif? Tidak, ini namanya menjunjung tinggi rasa keadilan. Bukankah tidak adil jika seorang pengguna narkoba dihukum ditempat yg sama dgn gembong narkoba, seorang koruptor dikumpulkan bareng dgn perampok. Mestinya ada klasifikasi kejahatan, sehingga negara lebih mudah pula memberikan perlakuan, sbagai bagian dr sistem pembinaan.

Negara seyogyanya harus memaknai keberadaan penjara dgn paradigma yg tepat menurut esensi, fungsi, manfaat dan efektifitasnya. Tidak melulu sekedar prosedur formal atau rutinitas sistem hukum. Jangan pula salah memaknai ‘kemanusiaan dan manusiawi’ seperti beberapa aktivis LSM yg keliru dlm memahami makna dr ‘hukuman mati’. Satu konstruksi hukum memang semestinya dibuat sedetail, sistematis dan menafikan multitafsir (tidak membuka kemungkinan tafsir yg berbeda).  

Prinsip dasar dr konsep manusiawi dlm konteks hukum adlah keadilan dan kemaslahatan. Ketika ada seseorang membunuh org lain tanpa dasar yg dibenarkan, maka menurut keadilan ia harus menerima konsekuensi hukum yg sama, yakni dibunuh (kecuali mendapatkan maaf pihak keluarga korban atau grasi dr pemerintah). Ketika ada seseorang melakukan tindak pidana korupsi atau usaha memperkaya diri, maka menurut keadilan ia harus diperlakukan sebaliknya, yaitu dimiskinkan. Lho, apakah ketika ada org yg memperkosa, maka ia juga harus diperkosa? Iya, bentuknya berbeda. Soalnya klo si pemerkosa dihukum ganti diperkosa oleh korbannya, ini namanya salah kaprah, tp boleh sj bentuknya membuat menderita organ seksualnya. Bila bentuk hukuman ini dirasa ‘terlalu kejam’, bisa saja diganti hukuman penjara, karena dipenjara seseorang dibelenggu nafsu melampiaskan hasrat seksualnya.

Akhirnya, ini sekedar pendapat pribadi, anda boleh sependapat, boleh juga tidak setuju. Saya juga memanfaatkan hak saya sebagai warga negara memberikan keleluasaan dan kebebasan untuk berpendapat.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 10 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar