BE-BE-EM


Kita sadari bahwa bahan bakar minyak sudah jd hajat hidup orang banyak, dah kayak bahan pokok yg harus terpenuhi setiap hari. Sebab apalah artinya kendaraan bermotor tanpa premium ato solar. Seperti halnya listrik, aktifitas harian kita diluar rumah begitu bergantung pada BBM. Jika ketersediaan BBM terganggu, maka terganggu pula kepentingan kita untuk menggunakan alat transportasi. 

Mungkin mengingat betapa urgen dan berharganya minyak, makanya pemerintah seolah tak kenal lelah memikirkan gimana caranya tidak ‘dirugikan’ oleh sirkulasi BBM ini, justru klo bisa mengeruk keuntungan sebesar2nya, terutama bagi pemerintahan SBY. Padahal, seingat saya sepuluh tahun silam harga premium ngga sampai 2000 rupiah, bahkan satu dua tahun sebelumnya cuma sekitar 800 rupiah perliter harga ecerannya. Klo pun terpaksa naik, ngga seberapa banyak..berkisar ratusan rupiah saja. 

Lalu entah apa sebabnya, kemudian harga BBM naik beberapa kali, mulai dari 1400, lalu 1800 kemudian 2000-an hingga sekarang harga resminya klo ngga keliru 4500 rupiah. Gimana lg, lha wong produksi BBM dalam negeri di monopoli ama Pertamina. Dari 4 presiden pasca orde baru, kayaknya pemerintahan SBY yg paling rajin dan hobi menaikkan harga BBM. Kecenderungan seperti ini hingga sekarang masih ada, bahkan pemerintah tampak semakin bergairah. Lantas berbagai alasan dibuat, sebab utamanya karena pemerintah memang menginginkan harga minyak di dalam negeri disamakan dgn pasar global, karena itu orientasi kebijakan senantiasa mengarah kesana. Untungnya kebijakan tersebut harus melalui proses persetujuan DPR, dan prosedurnya tak bakal mudah dilalui. Bagaimanapun anggota DPR juga konsumen BBM, kenaikan premium akan dirasakan pula oleh mereka. Itulah mengapa pemerintah lalu menyiasati dgn menawarkan solusi berupa pembatasan BBM, belum selesai wacana ini diterapkan pemerintah mencetuskan gagasan kebijakan larangan penggunaan premium bagi kendaraan pribadi non roda 2, terakhir muncul pula ide konversi bahan bakar minyak kendaraan ke gas. Masalahnya, semua tawaran kebijakan instan dan spontan itu ngga ada yg disukai publik, persis waktu beberapa tahun lalu pemerintah memaksakan konversi minyak tanah ke tabung gas...saat itu timbul gejolak dan disisi lain menyimpan bom waktu. 

Namun sy tidak heran dgn pola pikir yg terkesan menyederhanakan persoalan seperti ini, paradigma kayak gini biasanya lahir dr kalangan pengamat dan akademisi yang terbiasa berfikir secara makro. Wajar saja lha wong wakil menteri ESDM-nya memang berangkat dr profesi dosen yg cenderung berpola pikir teoritis. Persis dgn kejadian waktu duet Menkumham-Wamenkumham (Amir Syamsudin dan Denny Indrayana) mencetuskan kebijakan moratorium remisi bagi terpidana korupsi. Semangatnya sih bagus, tapi dasar hukumnya ngga kuat. Terakhir keduanya setelah diberondong kritikan lalu meralat penggunaan istilah moratorium menjadi ungkapan yg lebih fleksibel, pengetatan. 

Kita pantas bingung dgn pertanyaan, apa sih akar masalahnya sampai ada kebijakan pembatasan BBM atau konversi gas segala, apakah persoalan subsidi yg secara realitas memang dinikmati juga oleh org2 kaya yg seharusnya tak berhak menerima ataukah karena cadangan minyak bumi kita semakin menipis sehingga alternatif terakhirnya adalah konversi gas. Apapun kondisinya, alangkah tidak bijak memaksakan suatu kebijakan pada rakyat, sebab emang negara ini milik siapa, kok cara mengelola negara semaunya gitu. Logika yg menjadi alasan sebenarnya aneh, pengguna mobil pribadi ngga boleh pake premium, sebab pengennya pemerintah sih di ekspor aja supaya didapatkan pemasukan besar, lalu masyarakat disuruh membeli pertamax yg notabene produk impor yg harganya jelas lebih mahal ketimbang premium. 

Taruhlah bila kebijakan ini diberlakukan, pemerintah akan memperoleh pemasukan besar, mungkin eksesnya dana APBN bakal melimpah, tp masyarakat toh ngga perduli jg..klo dalam kenyataannya banyak masyarakat tetap aja susah cari makan, infrastruktur buruk walaupun seandainya negara kita jd kaya raya. Ide pembatasan BBM sebenarnya bukan ide buruk secara konsep, itu bagus..cuma gimana bentuknya. Klo persoalannya subsidi, pemerintah bisa memulainya dgn melarang mobil2 berkategori mewah memakai BBM bersubsidi. Apa ukurannya ? tetapkan saja misalnya mobil baru seharga diatas 150 juta sebagai mobil mewah. Kan mudah saja buat pemerintah menerbitkan list secara berkala tentang daftar harga baru mobil dlm posisi on the road, lalu dirilis ke SPBU. Lha kok ribet ? ya iyalah klo pertimbangannya masalah subsidi. 

Secara praktik, pembatasan BBM sejatinya terlalu banyak rintangan yg akan menyusahkan masyarakat, terutama di luar pulau jawa dimana jumlah SPBU masih minim jumlahnya. Di daerah saya, sum-sel sudah jd rahasia umum klo transaksi BBM ngga banyak dilakukan di area SPBU, tp sudah berpindah ke pinggir2 jalan, pada para pengecer yg gemar menimbun BBM, hasil kongkalikong pemilik SPBU, operator SPBU, polisi dan para pengecer. Sehingga pemandangan yg selalu terlihat SPBU itu cuma aktif beberapa jam saja, karena stok cepet ludes oleh antrian para pengecer. Situasi ini akhirnya memaksa pemilik motor dan mobil seringkali terpaksa harus mengisi BBM lewat pengecer dipinggir jalan yg harganya jelas lebih tinggi, belum lagi takaran yg digunakan tidak benar2 literan. 

Apalagi klo pemerintah memaksa masyarakat beralih ke gas, emangnya mobil di Indonesia cuma segelintir ? Klo harus pake gas yg perlu jg di ingat pemerintah, emang SPBU jumlahnya ada berapa sih, ditiap kecamatan ada ngga ? trus pengisian BBG itu apa harus lewat SPBU ?..BBG entar ada ngga sih yg jual eceran klo ternyata SPBU kehabisan stok atau emang lokasinya saling berjauhan…bayangkan saja betapa kacau balaunya jika kebijakan konversi ini diterapkan secara terburu2. Belum lagi pertanyaan mengenai seberapa aman penggunaan converter kit, bisa meledak ngga sih klo dipake ke mobil yg kurang perawatan, lha wong nyatanya belum lama ini beberapa bus transjakarta yg notabene pake BBG terbakar. Apa dampak terburuk yg akan terjadi bila kebutuhan pokok terganggu ? demonstrasi besar2an, dan puncaknya revolusi. 

Jangankan pembatasan BBM, kenaikan harga BBM saja situasi riskan bagi pemerintahan SBY yang popularitas dan dukungan publik padanya kian menurun. Kasus Century, Cicak-buaya, wisma atlet dan lain2 tidak akan cukup menggugah ‘pemberontakan’ dan ‘perlawanan’ rakyat, karena semua skandal itu tak ada hubungannya dgn kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari, tp bila rakyat sudah merasa terganggu kepentingan mereka secara langsung, yg punya dampak terhadap urusan ‘dapur’ mereka akan bergerak. Mereka tak akan peduli sebagus apa konsep pembatasan BBM itu bagi negara, kita hanya mau tau bahwa adanya negara ini memang untuk mensejahterakan rakyatnya, itu saja. 

oleh Ainul Huda Afandi pada 17 Januari 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar