TRAGEDI DIBALIK PANCASILA SAKTI


Sebenarnya (dulu) saya sudah pernah menulis catatan panjang (sekitar 24 catatan) di FB tentang G30S/PKI. Kebetulan peristiwa ditahun 1965 itu adalah tema sejarah keindonesiaan yang paling menarik perhatian saya. Ketertarikan saya tidak saja tertuju pada soal tewasnya 6 perwira tinggi angkatan darat, tapi juga karena masih ada sederet pertanyaan tak terjawab yang hingga kini masih menjadi misteri, baik pra kejadian maupun apa yg terjadi setelahnya. 

Ketertarikan saya terhadap peristiwa G30S/PKI bermula ketika sekitar tahun 1986, ada satu production house yang disponsori pemerintah Orde Baru menayangkan rutin setiap tahunnya film pemberontakan PKI tahun 1965. Bahkan di awal pemutaran, klo ngga salah ingat bagi siswa sekolah entah diwajibkan atau malah digratiskan untuk menonton di bioskop. Saya belum sekolah waktu itu, belum genap umur tujuh tahun, tp diikutkan. Filmnya bagus, menegangkan dan mengerikan, bahkan sampai kemudian film itu dihentikan penayangannya di TVRI seiring dgn berakhirnya era Orde Baru, ada beberapa adegan yg selalu memaksa saya menyembunyikan wajah, ogah ngeliat, yakni sewaktu istri Brigjen Panjaitan membasuh muka dgn darah suaminya, lalu adegan2 penyiksaan para korban penculikan di Lubang Buaya. 

Seiring dgn bergulirnya waktu, sy juga mendengar kisah2 bagaimana peristiwa itu terjadi walaupun mayoritas bukan dr pelaku langsung. Pernah suatu waktu ketika listrik sedang tak beroperasi dimalam hari, dan sbagai gantinya kami terpaksa menghidupkan lampu berbahan bakar minyak tanah, saya dan sejumlah teman sebaya mengurubungi ibuku. Maklum, sy tinggal di desa, sewaktu masih kecil PLN belum masuk, dan untuk menikmati listrik di desa ada seorang yg memiliki usaha genset yg disalurkan ke seluruh penjuru desa dgn masa beroperasi sekitar 6 jam, mulai jam 6 sore sampai jam 12 malam, selebihnya ya begitulah, remang2. Kebetulan sejak gadis, Ibuku adlah guru ngaji selain pekerjaannya sbagai PNS. Kegiatan mengajar ngaji itu masih berlangsung sampai sekarang, saat usianya sekitar 65 tahun. Iya, beliau wanita yg sanggup istiqomah dan tangguh. Faktor ibu juga, salah satu pertimbangan utama mengapa kini aku kembali ke daerah asal, setelah sekian lama hidup dlm perantauan. 

Ceritanya, ibu sedang bercerita tentang G30S/PKI, banyak yg diceritakan, tp sedikit saja yg bisa diingat, terutama ketika Ibu sedang berkunjung ke suatu tempat di Banyuwangi, tidak jauh dr situ ada kegiatan eksekusi org2 PKI, beliau tidak melihat, namun suara kesakitan org2 PKI terdengar jelas, “ampun..,pak, ma’ee..”. Proses eksekusi sederhana, para algojo menyiapkan satu lubang besar dan org2 PKI digiring satu persatu mendekati lubang dgn mata tertutup dan tangan terikat, disitulah algojo menebaskan senjata tajam, dan korbannya langsung tumbang ke dalam lubang, tanpa menunggu kepastian apakah korban sudah tewas atau belum, giliran org2 PKI yg lain. “Suara tebasan itu kayak org menebas pohon pisang” tutur ibu pada kami yg kontan bergidik ngeri, tercekam dlm bayangan menakutkan. 

Ketika suatu hari dimasa kecil diajak mengunjungi saudara di Nganjuk Jawa Timur, mendengar juga kisah2 pembantaian org2 PKI, bahkan kebetulan si saudara dikenal juga sbagai pelaku langsung, salah satu algojo yg terlibat pembantaian. Begitu pula tatkala memasuki usia sekolah, sy hobi membaca buku2 sejarah, termasuk kisah pemberontakan PKI, bahkan buku “putih” TNI AD yg 6 jilid itu sudah tak terhitung berkali2 ku baca. Tak Cuma yg versi pemerintah, saya juga senang membaca buku yg berasal dari tokoh2 PKI atau org2 yg merasa dikorbankan atas tragedi 1965, sbagai pembanding. Kalau kita ingin memperoleh kebenaran yg paling mendekati kondisi obyektif atas peristiwa2 yg mengundang polemik dan kontroversi, maka kita harus bersedia mendengar dan membaca semua versi yg tersedia. 

Kesimpulan sementara saya dlm memandang peristiwa G30S/PKI bermuara pada pemahaman, bahwa G30S/PKI tidaklah murni kudeta, karena tidak jelas juga siapa yg dikudeta. Tp yg jelas G30S/PKI adlah operasi terbatas untuk menyingkirkan lawan politik secara fisik dan sistemik walaupun dgn strategi yg konyol dan agak “bodoh”, sampai2 kemudian ada pengamat yg beranggapan bahwa G30S adalah kudeta yg dirancang untuk gagal. 

Dalang utama operasi ini bukan PKI secara organisasi, tp petinggi2 PKI. Namun justru keputusan yg tidak total ini membawa dampak yg demikian fatal, PKI sbagai organisasi politik tidak saja diberangus, tapi juga terjadi pembantaian dlm jumlah tak terhitung, boleh jd jutaan. Pembantaian itu dilapangan banyak melibatkan aktivis NU (sbagai ormas Islam terbesar dan musuh bebuyutan PKI) dan dimobilisasi oleh militer. G30S menurut saya tidak dirancang untuk gagal, tp memang gagal karena aksi yg dilakukan tidak terencana secara matang, bahkan mereka sampai2 gagal menyusun pola pelarian yg efektif saat rencana tidak berjalan semestinya. Ada banyak keputusan ‘bodoh’ dan konsekuensi dari ‘kebodohan’ itu harus dibayar terlalu mahal. 

Keputusan pelaku G30S untuk tidak melakukan kudeta murni patut dimengerti, Bung Karno tahun2 itu sedang dekat secara politik dgn PKI dan sekalipun popularitasnya kian menurun, kharisma kepemimpinan Bung Karno masih bisa diterima, menangkap atau membunuh Bung Karno dirasa terlalu beresiko. Itulah mengapa mereka memilih cara ‘teraman’, yakni operasi terbatas dan menggunakan ‘tangan org lain’. Ketika mereka memanfaatkan Letkol Untung, Kol. Latief, Brigjen Supardjo, cs. Sbetulnya ngga salah secara strategi, karena org2 ini memiliki kekuatan militer. Lagi pula masa itu banyak perwira muda yg tidak puas dgn loyalitas Perwira Tinggi TNI AD dlm melaksanakan instruksi Presiden soal operasi “ganyang malaysia”. 

Persoalannya, klo tujuannya operasi terbatas, mengapa tidak dibatasi aksi kriminal saja. Bukankah lebih efektif bila mereka mengirim pasukan ke rumah2 jenderal AD tanpa identitas, seperti yg dilakukan Brigjen Kemal Idris saat mengirim Kopassus ke istana tanpa uniform yg membuat Bung Karno buru2 dievakusi ke istana Bogor (bukannya justru memanfaatkan cakrabirawa –pasukan pengawal presiden-), hingga hari "H" jam "D", mereka belum jua mampu memastikan seperti apa sikap dan reaksi Bung Karno). 

Lalu soal pilihan target, masih mengundang pertanyaan mengapa Pangkostrad Mayjen Soeharto, Pangkodam Mayjen Umar Wirahadikusumah, dan sejumlah Deputy serta asisten Menpangad Letjen Ahmad Yani tidak dimasukkan ke dalam target. Tentu bukan berarti org2 itu pro-PKI, tp agaknya pelaku memiliki pertimbangan tersendiri. Mayjen Soeharto adlah bekas atasan Letkol Untung, mungkin hubungan emosional itu turut jd pertimbangan. Lagi pula sehari2 Soeharto tdk berkantor di MBAD, tp di Makostrad. Mungkin juga pelaku takut kemarahan Kopasandha (sekarang Kopassus), karena Pasukan elit ini berada dibawah koordinasi Soeharto. Tp sejarah kemudian membuktikan, Mayjen Soeharto adlah otak dr kehancuran PKI. Yg juga membuat penasaran adlah, mengapa pelaku G30S tidak memperhitungkan reaksi Bung Karno begitu mendapat laporan ‘penangkapan’ dan eksekusi sejumlah jenderal TNI AD. Ketika Bung Karno menolak memberi dukungan bahkan meminta kegiatan operasi ilegal itu dihentikan, para pelaku kebingungan. Sementara di sisi lain Mayjen Soeharto memiliki cukup waktu untuk memobilisasi kekuatan, mengidentifikasi lawan dan bersiap melakukan pembalasan. 

Bung Karno adlah nasionalis sejati tapi Pak Harto justru dlm pandangan saya lebih Pancasilais ketimbang Bung Karno yg pertama kali mencetuskan ide Pancasila. Berbeda dgn Bung Karno yg pikiran2nya dipengaruhi gagasan ala eropa dan sejarah masa lalu indonesia, sedangkan Pak Harto adlah tipikal orang jawa tulen yg religius. 

G30S / PKI adlah tragedi, tp tragedi nasional yg sebenarnya adlah saat jutaan nyawa pengurus dan simpatisan PKI melayang. Mayoritas org2 ini justru tak tahu menahu soal aksi G30S, tp mereka berada di pihak yg sedang dlm posisi tersudutkan. Apakah sekarang kita harus merehabilitasi nama mereka, mungkin iya. Apakah termasuk PKI sbagai partai, boleh saja kalo memang ada bukti yg menunjukkan bahwa sejumlah politisi elit PKI sama sekali tak terlibat peristiwa itu. Toh, di zaman sekarang komunisme sudah tak laku, bukan lagi bahaya laten. 

G30S/PKI dan dampak yg ditimbulkan adlah bagian kelam dr perjalanan bangsa Indonesia. Umat manusia memang tak bisa menghindari tragedi, karena konflik dan pertumpahan darah adlah bagian dr kodrat kemanusiaan. Pada waktu2 tertentu tragedi apapun bentuk dan wujudnya mesti terjadi, sudah terjadi dan entah kapan akan terjadi lagi. Kita hanya bisa berharap dan berusaha agar tidak terjadi di zaman kita. G30S/PKI adalah pelajaran berharga bahwa kekuasaan ibarat keping mata uang, di satu sisi kekuasaan adalah jalan meraih kesejahteraan dan kebahagiaan, namun pd sisi yang berbeda berpotensi mendatangkan situasi sebaliknya. Berebut kekuasaan juga umumnya selalu membawa ‘tumbal’ dan korban, terutama bagi pihak yg dikalahkan. 

Kekuasaan dan kekayaan memiliki hubungan dekat, kekuasaan mendatangkan kehormatan dan penghormatan, sementara dengan kekayaan hidup berpeluang menjadi mudah. Maka tak heran, keduanya kerapkali lebih sering dijadikan tujuan hidup ketimbang sebagai alat untuk meraih kebahagiaan dan kesejahteraan yang lebih hakiki. Berjuang mengejar kekuasaan dan kekayaan bukanlah kesalahan, namun sungguh keliru kalau ambisi dilakukan melewati batas normal kepuasan. 

Sejak kecil hingga memasuki fase dewasa, saya pun seperti kebanyakan org memiliki hasrat yg sama tentang kekuasaan dan kekayaan, namun sy berusaha belajar dr pengalaman hidup dan tak henti senantiasa menebak apa yg dikehendaki Tuhan dari keberadaan sy di dunia ini. Introspeksi dari pengalaman hidup akan membuat kita mampu mengendalikan setiap keinginan, lalu melakukan harmonisasi antara keinginan dan batas kenyataan yg paling mungkin kita dapatkan. Berangkat dr kontemplasi, maka sedikit demi sedikit kita akan menemukan jawaban bagaimana kita harus memposisikan diri dalam proses interaksi, baik yg bersifat pribadi maupun kehidupan sosial. Akhirnya, kebahagiaan dan penderitaan adalah ‘hak’ yg melekat pd manusia, kita tak mampu menolak datangnya kesusahan, karena ia akan datang pada waktunya, yg bisa kita lakukan hanyalah menikmati setiap detik kebahagiaan yg menghampiri perasaan kita, membiarkannya bertahan lebih lama, dan jangan merusak kebahagiaan itu dgn ambisi dan keinginan yg macam2.


oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 1 Oktober 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar