RAMADHAN BAGI SURIAH


Sejak perjuangan menggulingkan penguasa diktator bergulir di Yaman, Tunisia, Mesir dan Libya, maka situasi serupa di Suriah atau Syria seolah menemukan momentumnya. Berawal dari demonstrasi yang meluas, terjadi represi, lalu berujung pada pemberontakan bersenjata. Nasib tragis mantan presiden Mesir Hoesni Mubarak dan mantan pemimpin Libya Moammar Khadafi seakan tak cukup menjadi warning nyata bagi Presiden Bashar Assad untuk menimbang beribu kali menyikapi gejolak aspirasi rakyatnya.

Kini situasi tak lagi terkendali, saat nyawa demi nyawa melayang demi memperjuangkan dua kepentingan berbeda, dan kehadiran Bulan yang disucikan umat Islam, Ramadhan tampaknya tak jua mampu mendinginkan suasana, tak cukup memberikan kesadaran bagi dua pihak berseteru di Suriah untuk sekedar rehat sejenak, setidaknya demi menghargai dan memuliakan bulan termulia yang kini sedang kita jalani ini. Mbok yao, satu bulan gencatan senjata dan saling menahan diri, apa ngga jenuh tiap hari akrab dengan dentuman bom dan letusan senjata yang memekakkan telinga dan menggetarkan jiwa. Apa ngga iri dengan kedamaian yg dinikmati sebagian besar umat muslim diseantero bumi yg punya banyak kesempatan melaksanakan ibadah tanpa perlu sibuk mencari tempat aman.

Di dunia ini masih banyak makhluk yang lebih pantas dimusuhi, bahkan klo perlu diperangi ketimbang saling berbunuh dgn saudara seagama. Presiden Bashar Assad mungkin memang harus tumbang untuk mengakhiri dinasti Assad yg cenderung abai terhadap kesejahteraan rakyatnya secara menyeluruh. Itu cuma soal waktu, saya kira kerajaan monarkhi di Jazirah Arab lainnya juga akan bernasib sama kelak, tapi idealnya tidak setiap suksesi mesti diakhiri hanya dgn satu opsi, kekerasan. Karena kekerasan yg dibiasakan hanya akan melahirkan budaya dan paradigma sempit dlm mewujudkan keinginan dan aspirasi.

Ribuan tahun lalu Rosulullah memang telah mengingatkan, bahwa akan tiba saatnya umat Islam laksana buih dilautan, banyak bertebaran, tapi mudah diombang-ambingkan gelombang. Tak berdaya dan tak cukup punya kekuatan untuk berdiri tegak disegani umat lainnya. Terkadang kuantitas melimpah justru mengiliminir kualitas.  Semua gara2 negara. Kita mendambakan negara sebagai cara terbaik menghadapi hidup, dan lalai bahwa kita sebagai umat lahir dr komunitas keimanan. Dulu kita dipersatukan oleh iman yang sama, tapi kini pemersatu kita lebih didominasi faktor ras, bangsa dan negara. Tak mengherankan jika kita takkan peduli secara nyata dgn apapun yg menimpa umat Islam diluar negara kita sendiri, bahkan dinegara sendiri kita hanya peduli dgn madzhab dan ormas yg kita anut, makanya tak mengherankan masih ada realita konyol dimana kita tidak bulat memaknai waktu dan penanggalan, seperti beberapa hari lalu saat ada sebagian muslim berpuasa dihari Jum’at, sementara sebagian lainnya memilih mulai berpuasa di hari Sabtu.

Benar bahwa perbedaan itu rahmat, tapi berbeda dlm memulai puasa tidak dlm konteks pernyataan tersebut. Kita hidup dibumi yg sama, waktu yg sama, alangkah aneh jika disatu sisi ada sekelompok yg meyakini hari itu wajib berpuasa karena kalau tidak berdosa, sedangkan kelompok lain memilih tidak berpuasa karena kewajiban itu belum datang. Nanti lebaran juga begitu. Opo ngga aneh, klo kita meributkan besok itu tanggal 1 atau masih tanggal 30 ya, barangkali mirip kita meributkan besok itu sudah hari sabtu atau hari minggu ya, dan anak2 kita pasti bingung melihat cara berfikir org2 dewasa yg terlihat linglung, terutama mereka org dewasa yg menyandang julukan intelektual muslim.

Ini tidaklah perbedaan sederhana semacam jumlah rakaat shalat Tarawih yg ‘hanyalah’ ibadah sunnah. Permasalahan ini merupakan wilayah wajib dan haram, yang sayangnya sekalipun dibungkus dengan dalil dan dalih keagamaan, tapi tak urung perbedaan ini sebetulnya lebih bernuansa persaingan antar ormas belaka.  Konyol mungkin istilah yg terasa lebih elok didengar ketimbang menyebut kata “bodoh!” untuk mengomentari fenomena ini.

Untungnya, kita juga semakin terbiasa berbeda dgn orang lain seagama, pokoknya “bagimu keyakinanmu, dan bagiku keyakinanku”.

oleh Ainul Huda Afandi pada 26 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar