“SAAT TANGGAL JADI KONTROVERSIAL”


Setiap kali malam takbiran saya selalu merasa sulit tidur, ketika masih kanak-kanak mungkin akibat terbawa rasa gembira karena besok adalah lebaran. Namun, sekarang udah beda, mungkin lebih disebabkan kesibukan mempersiapkan rumah agar lebih layak kala esok harinya kedatangan banyak tamu. Satu lagi yg membuat rasa kantuk tak kunjung datang, yakni kebiasaan masjid2 di sekitar tempat tinggal saya yg mengumandangkan takbir yang diiringi tabuhan beduk sepanjang malam 1 syawal. Ini sebenarnya kebiasaan ‘buruk’ dan mengganggu bagi org2 yg ingin beristirahat (baik muslim maupun non muslim), karena ibadah sejatinya tak cukup hanya dgn niat dan tujuan baik, namun jg dgn cara yg baik pula. Ibadah tetaplah memiliki norma, etika dan batas.

Yah..daripada cuma bengong dan menggerutu, mendingan hidupin laptop, nulis dan OL. Topiknya masih seputar lebaran, tentang perbedaan hari raya. Seperti banyak muslim indonesia lain, tahun ini untuk kesekian kalinya saya dongkol dengan fenomena perbedaan dalam mengakhiri bulan Ramadhan dan merayakan satu syawal. Ini situasi aneh dan ironis, ketika zaman sudah sedemikian modern kita ternyata masih saja terbelakang dan terkotakkotak dalam menyatukan pandangan tentang penanggalan islam. Pantas saja kalender Hijriyah praktis selama beratus tahun terkesan kurang ‘laku’ dan populer selain digunakan saat momen2 tertentu, terutama pas Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.

Ada satu pernyataan menarik dari Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Pak Din Syamsudin yg merasa jengkel dengan salah satu pakar astronomi indonesia, Thomas Jamaludin yg berpendapat bahwa kriteria hisab ala “wujudul hilal” Muhammadiyah sudah ditinggalkan dunia astronomi karena dianggap telah usang dan kurang valid secara ilmiah. Bagi Thomas, adalah hal aneh bila Muhammadiyah sebagai ormas islam modernis ternyata masih bersikukuh dgn metode keilmuan konservatif dlm memahami perhitungan waktu. Menurutnya, Dunia astronomi sekarang sudah memakai metode baru berupa imkan Rukyat yg berlandaskan pd tinggi bulan dan matahari lebih dr 4 derajad atau ketinggian bulan diatas ufuk lebih dr 3 derajad. Karenanya, metode inkam rukyat selalu memperhatikan kemungkinan bulan bisa dirukyat atau tidak.

Atas pernyataan Thomas ini, Din Syamsudin menyebut peneliti LAPAN itu sebagai provokator berbahaya yg berpotensi memecah belah umat islam dgn berkedok ilmiah. Din juga meminta agar sidang istbat yg difasilitasi Kemenag ditiadakan, bahkan ia jg berpendapat sebaiknya negara tak perlu ikut2an mengurusi 1 syawal. Sy pribadi memilih mengkritik cara berfikir Din Syamsudin. Bukan masalah rukyat, hisab atau imkan rukyat, karena sy memang tak terlalu paham soal itu, namun harus ada kesamaan pemahaman dalam hal kalender islam. Kehidupan masyarakat justru menjadi kacau bila kita tak bisa menyepakati tentang penanggalan, terutama bila kalender islam tdk saja digunakan atas alasan ibadah dan agama, namun jg dlm situasi perjanjian, bisnis atau momen2 penting. Mungkin sama lucunya jika kita berbeda pendapat apakah sekarang ini sudah bulan september atau masih bulan agustus. ‘Untung’lah kalender islam tak banyak kita gunakan sehari2 (ini juga kondisi ironis, karena sebagai umat islam kita lebih banyak mengacu penanggalan masehi ala org kristen eropa drpada membiasakan diri menggunakan kalender islam).

Saya jg tak sependapat dgn Pak Din yg menyarankan negara agar tak lg mengurusi 1 syawal dan membiarkan umat islam pd keyakinan masing2. Ini sama artinya dgn Pak Din menganggap Kementrian Agama itu sebaiknya ditiadakan saja, negara gak usah lg ngurusi agama. Bagi sy itu cara pandang yg keliru, negara adlah alat agama untuk menegakkan syariat, karenanya tak semestinya negara dipisahkan dr agama. Indonesia memang bukan negara islam, tp adlah negara beragama dimana sejauhmana syariat agama terakomodasi dlm organ negara tergantung intensitas warga indonesia memperjuangkan kepentingan agamanya masing2. Kalau kemudian semua dibebaskan menurut keyakinan masing2, bakal rusaklah agama. Kalau misalnya ada kelompok yg mengaku islam tp menyimpang siapa pihak yg bisa membantu mengatasinya ?? atau mau ditertibkan sendiri, jdnya pasti konflik dan peperangan. Negaralah yg bisa diharapkan oleh masing2 pemeluk agama.

Atas kesadaran itulah, sidang isbat menjadi penting karena negara hadir untuk menengahi kepentingan umat islam. Negara punya sumber daya yg cukup untuk sekedar memastikan secara ilmiah kpn tiba saatnya 1 syawal. Para ulama memang punya teori, tp tetap butuh bantuan para ahli untuk membuktikannya. Jd, ayolah Muhammadiyah..jgn ego terhadap ormas mengalahkan kepentingan yg lebih besar. Kepentingan persatuan dan kesatuan umat islam, kepentingan syiar kalender/penanggalan islam...semoga tahun depan kita tak lg berbeda.

oleh Ainul Huda Afandi pada 31 Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar