KETEGASAN DALAM KEBINGUNGAN


Ketua pembina partai demokrat yg sekaligus pula presiden RI, Pak Susilo agaknya memang sudah ditakdirkan akrab dgn dilema dan situasi rumit dalam mengambil keputusan. Dalam kurun waktu satu dekade kepemimpinannya, telah banyak situasi yang seolah menyindir kepribadiannya yang cenderung gemar memilih keputusan paling ‘aman’. Sebut saja kasus Susno, cicak buaya, BBM, sampai yg teranyar, soal prahara partai demokrat yg menjadi kendaraan politiknya. Sikap kehati-hatian memang menjadi warna dominan dlm kepribadian Pak Susilo dan sikap ‘terlalu’ hati-hati itu pula yg tak jarang membingungkan kita.

Beberapa hari lalu, dlm kunjungan kerja ke timur tengah, Pak Susilo menyempatkan diri beribadah umrah ke tanah suci, Makkah dan Madinah. Ia merasa perlu pula secara khusus berdoa untuk kebaikan dan masa depan partai yang telah didirikannya tersebut. Bahkan katanya, klo perlu ia akan menunggu, siap menanti ‘wangsit’ datang. Sehari kemudian Pak Susilo mengabarkan telah menemukan solusi paling tepat untuk menyelesaikan kericuhan yg dialami partai demokrat menyusul manuver terbuka sekelompok elit politik senior yang secara samar mendesak SBY melengserkan ketua umum partai demokrat, Anas Urbaningrum.

Solusi yg dimaksud ternyata memang ‘melengserkan’Anas, namun dlm istilah yg paling halus. SBY tidak memutuskan menonaktifkan Anas, karena ia sadar tak adal satupun aturan organisasi dan argumentasi yg rasional yang bisa memaksa Anas mundur. Maka cara yg dipandang paling elegan, adalah pengambilalihan kewenangan dan tanggungjawab. Hampir mirip dgn yg terjadi di partai Nasdem, dimana terjadi skenario pengambilalihan kepemimpinan dari tangan ketua umum sebelumnya beralih ke tangan Surya Paloh yg memang menjadi dalang utama berdirinya partai ini. Kenyataan seperti ini membangunkan kita bahwa, gerakan perubahan yg dulu didengungkan Surya Paloh, Sri Sultan dan banyak tokoh-tokoh non-partisan ternyata ujung2nya juga gairah akan kekuasaan politik. Apakah dgn cara seperti ini peluang Surya Paloh mencalonkan diri sebagai Presiden RI menjadi terbuka, jawabannya jelas iya, tapi apakah sosoknya mampu menarik simpati calon pemilih, nanti dulu..itu persoalan lain. Saya pikir, pertama-tama Surya Paloh harus mencukur habis brewok dan sedikit merapikan rambutnya klo pengen terpilih sbagai orang nomor 1 di negeri ini.

Apakah sikap dan langkah SBY selaku ketua pembina partai demokrat itu merupakan keputusan yg demokratis? Sesuai aturan main, tampaknya kebijakan SBY sudah sesuai mekanisme organisasi, tapi sbenarnya tidak sejalan dgn prinsip2 demokrasi yg selama ini begitu mempengaruhi cara berfikir Pak Susilo. Maka jalan pintas yg dilalui SBY seolah menjadi bukti begitu sulitnya menciptakan harmonisasi, antara pikiran, teori pengetahuan dan ucapan di satu sisi dengan peliknya realitas di sisi lain. Mirip misalnya dgn kesadaran kita bahwa malas itu jelek, tapi nyatanya tindakan kita tak lepas dr perilaku kemalasan. Pada titik tertentu SBY sampai pada satu kesimpulan, sekalipun tidak bermaksud‘mengabaikan’ demokrasi, tp kenyataannya terpaksa memang harus begitu. Sampai2 pengamat politik, Ikrar Nusa Bakti menyebut langkah SBY dlm kasus partai demokrat sebagai keputusan yg tidak mencerminkan sikap kenegarawanan. Dalam hal ini saya berbeda pandangan dgn Pak Ikrar, sikap kenegarawanan itu memang tidak selalu berkonotasi dgn perilaku demokratis. Contoh, Hiltler itu terkenal otoriter, tapi bagi bangsa Jerman, Hitler adalah pemimpin yg negarawan. Seorang negarawan adlah pemimpin yg mengedepankan kepentingan dan kebaikan bangsa di atas kepentingan2 kelompok dan perorangan, dgn cara apapun, legal atau non legal, demokratis atau otoriter.

Setelah SBY me-‘nonaktif’-kan Anas Urbaningrum, akankah reputasi dan citra partai demokrat akan segera pulih? menurut saya peluangnya bergantung seperti apa tindak lanjut yg akan dilakukan SBY. Saya kira, publik sudah mafhum bahwa dlm dua kali masa pemilu, popularitas partai demokrat selalu mendompleng popularitas SBY. Seandainya partai demokrat tidak direcoki kasus2 hukum sekalipun, suara partai demokrat di pemilu 2014 besar kemungkinan akan turun, mengingat tak ada lagi nama SBY dlm ajang pilpres. Apalagi dlm kondisi citra partai yg demikian buruk saat ini. Ketika situasi partai demokrat demikian kacau dan gaduh, maka pengambilalihan oleh SBY sebetulnya merupakan langkah krusial, strategis dan opsi paling realistis. Cuma langkah radikal semacam ini menjadi pertaruhan politik bagi popularitas SBY sendiri. Kini SBY secara nyata ingin menjadi representasi partai, namun jika elit2 partai lain masih berperilaku sperti sebelumnya, jangan salah jika dikemudian hari org mudah mengkait2kan SBY dengan kasus2 korupsi.

Langkah nyata pertama dr SBY setelah pengambilalihan adlah mengadakan konpers. Apa yg diungkapkan SBY secara garis besar mudah dipahami, namun sayangnya ia belum sepenuhnya berhasil meyakinkan kita, karena bentuk konkret tindak lanjut upaya penyelamatan partai yg dilakukan SBY tidak jelas. Semakin tidak jelas, ketika esok hari sang ketum, Anas Urbaningrum masih beraktivitas seperti biasa, datang ke Lebak dan melantik pejabat partai setempat. Hal ini tentu menimbulkan kesan, Anas mengabaikan keputusan SBY. Tindak lanjut yg turut diumumkan adalah keharusan bagi setiap pejabat partai baik di kepengurusan pusat maupun daerah untuk menandatangani pakta integritas. Saya agak bingung dgn tindak lanjut semacam ini, apa perlu dan apa pula relevansinya pakta integritas dgn citra partai yg kian memburuk. Mungkin saja SBY ingin memberikan kesan baik di mata publik, bahwa mulai sekarang yg ada di partainya hanyalah org2 yg punya integritas, tapi cukupkah integritas seseorang diwakili oleh selembar surat pernyataan yg dilengkapi tandatangan dan materai? Bagi saya, pakta integritas sebetulnya tak lebih dr bullshit dan omong kosong belaka. 

Saya masih ingat, para guru pengawas ujian nasional di sekolah2 juga diminta menandatangani pakta integritas, yg butirnya banyak sekali, intinya menjunjung tinggi kejujuran, tidak menoleransi dan tidak terlibat dlm perilaku curang. Tanpa banyak membaca isinya, mau ngga mau para pengawas itu membubuhkan tanda tangan. Tapi apa yg terjadi selanjutnya, (sesuai kesepakatan tak tertulis antar kepala sekolah), para guru2 di sekolah datang menyebarkan kunci jawaban pada siswa, dan pengawas2 itu bersikap seolah2 tutup mata atas kecurangan yg terjadi di di depan mata mereka. Satu contoh lagi, masih seputar guru. Di daerah saya, para guru ketika mengambil uang tunjangan fungsional, secara tradisi menyetorkan sejumlah uang untuk ‘org di atas’ lewat kepala sekolah masing2. Dgn perasaan terpaksa, para guru honorer itu pun manut2 aja, mau gimana lagi, dr pada sekolah masuk ‘black list’, begitu mungkin pikir mereka. Cukupkah? tidak! Mereka juga dipaksa untuk berbohong, ada surat pernyataan yg harus mereka tandatangani, berisi pernyataan bahwa uang tunjangan fungsional diterima secara utuh, tanpa ada potongan sepeserpun.

Saya pikir pakta integritas versi SBY tujuan utamanya memang bukan integritas itu sendiri, tapi sebetulnya upaya konsolidasi dan mencegah agar tidak terjadi pembangkangan. SBY ingin memastikan bahwa apapun yg akan dilakukannya didukung penuh oleh unsur2 partai.

Klo pingin citra demokrat membaik atau klo pengen sembuh dr penyakit demokrat jngan salah minum obat. Oleh karena itu, SBY sebaiknya dgn tegas melarang Anas menjalankan fungsi ketua umumnya, karena tugas dan kewenangan itu telah diambil alih. Jadi, pejabat2 partai demokrat di level daerah yg akan dilantik, seyogyanya dilantik sendiri oleh SBY, atau setidaknya diwakili elit politik lain yg termasuk majelis tinggi partai. Untuk pelaporan dan proses pertanggungjawaban, DPD juga harus diminta melapor secara langsung pada SBY. Kemudian, menurut saya seluruh elit politik harus diperintahkan puasa bicara dgn media, tidak lg hadir ke acaranya pak karni, tidak berkomentar apapun di media, bahkan dlm kapasitas sebagai individu.

Sudah bukan rahasia lagi jika ada sekelompok politisi demokrat yang hobi masuk tv, gemar diwawancarai, mereka merasa dgn masuk tv otomatis mendapatkan promosi secara gratis, tak perlu sibuk masang baliho, nama dan wajah mereka cukup familiar di mata publik, sehingga di pemilu berikutnya dapat terpilih lagi. Masalahnya, umumnya media massa di Indonesia tak bersih dr kepentingan politik, terutama para pemiliknya. Apalagi, dua tv berita (metro tv dan tv one). Posisi dua media ini sebetulnya rival dr partai demokrat, dan bodohnya dgn dalih klarifikasi, org2 demokrat senang2 aja diundang dua tv tersebut. Solusinya, tirulah artis Dessy Ratnasari yg dimasa mudanya terkenal sebagai “miss no comment”. Kata pepatah, diam itu emas, maka dgn menutup mulut rapat2 atas apapun serangan media, lama2 media kan capek juga (makanya demokrat punya stasiun tv sendiri, dong!). Pokoknya tirulah dessy ratna sari dgn “no comment’nya, duo maia dengan “emang gue pikiran” atau Gus Dur, “gitu aja kok repot”.

Langkah konkret berikutnya yg harus dilakukan SBY (sesuai katanya tentang komitmen pembersihan partai), ialah mengadakan polling atau survei, baik dlm internal partai maupun ke masyarakat, untuk memperoleh data siapa2 nama yg disukai dan siapa pula nama yg dibenci, tak perlu mencantumkan apa alasannya, karena like and dislike (suka atau ngga suka) terkadang tidak beralasan. Dari data yg terkumpul akan menjadi pondasi argumentatif untuk mempromosikan atau mendepak seseorang dr kepengurusan partai, tak peduli seberapa besar jasanya, betapa tinggi integritasnya, dan seberapa unggul kualitasnya, karena dunia politik itu memang kejam. Langkah tegas dan nyata seperti ini akan mudah mendapatkan apresiasi masyarakat, walaupun boleh jadi akan menjadi bahan serangan bagi siapapun yg tidak menyukai demokrat.

Kemudian soal aturan main, sejauh ini sikap politik demokrat sebenarnya sudah benar dlm memandang kader2nya yg terjerat kasus hukum. Persoalannya, apakah aturan main internal partai demokrat sendiri sudah sedemikian ketat dlm mengawasi dan mengontrol perilaku politisinya. Prinsip transparansi menjd kata kunci dan perlu dilakukan untuk mengungkap informasi seluas-luasnya tentang siapapun yg menjadi pengurus partai, misalnya Ruhut Sitompul, lahirnya dimana, anak siapa, sekolah dan kuliahnya dimana, apa saja pekerjaannya, anaknya berapa, siapa nama anaknya, istrinya berapa, berapa penghasilannya, berapa besar asetnya, bagaimana jenjang karirnya di dunia politik, pernah terkena kasus hukum apa, dan lain-lain. Keterbukaan informasi seperti ini, akan membuat masyarakat yakin bahwa partai ini benar2 bersih, diisi org2 bersih dan mudah diasumsikan tidak berperilaku korup. Selama ini kan kita sbagai masyarakat serba ngga tau background politisi2 itu, tau2 sudah jd bendahara partai, kayak Nazarudin. Atau misalnya Anas Urbaningrum, kita paham ia dulu aktivis pergerakan mahasiswa, menantu kiyai besar di Jogja, pernah jadi anggota KPU, tapi kok rumahnya bagus banget, mobilnya mewah, penghasilannya apa sih?

Pertanyaan2 bernada cerewet ini takkan etis bila ditujukan pada individu masyarakat kebanyakan, namun bagi figur publik adlah keniscayaan, makanya klo ngga mau hal2 yg bersifat pribadi diketahui publik, siapa suruh jd politisi... Masyarakat juga punya batas kok tentang informasi apa yg ingin mereka ketahui, bukan berarti pengen tau seluruhnya “luar-dalem”.

Saya pribadi bukan anggota partai demokrat, bukan pula anggota partai lain. Sejauh ini, tidak ada satupun partai yg layak untuk saya masuki dan sebaliknya tidak ada satupun partai yg butuh keberadaan saya. Selama ini sy bukannya golput, saya hanya bagian dr sekelompok masyarakat yg tidak cukup mendapatkan kesempatan menggunakan hak pilih dlm ajang pemilu. Padahal tiga kali pemilu sudah berlalu sejak secara konstitusi saya dinyatakan sah sebagai salah satu org yg punya hak suara. Pemilu pertama, hak pilih saya diberikan dikampung halaman, Belitang, sementara secara fisik saya bermukim sementara di kota Metro. Pemilu kedua, saya lupa, ikut nyoblos atau ngga, saya sih ngga yakin (abis lupa, klopun milih, partainya apa ya, kali aja PKB). Pemilu berikutnya, hak pilih saya masih tercatat di kampung halaman, sementara status saya warga pendatang di Jogja.

Sekarang ini, sy termasuk calon pemilih yg belum tau mau bakal milih partai apa. Habis semua kelakuannya sama aja. Mungkin ujung2nya, seperti dlm ajang Pilkades beberapa waktu lalu di desa saya. Ada tiga calon, tiga2nya ngga saya kenal (dan ngga penting juga berkenalan –boleh dong g nyombong-), satu mantan kades, satu kades incumbent dan satunya lagi sebut saja pengusaha. Mantan dan yg masih jadi kades, dua2nya singkatnya ngga cakep, suka dgn ‘beruang’ dan selama ini kenyataannya ada kades atau ngga ada kades kayak g ada bedanya, maka yg saya pilih adlah calon ketiga, yg belum pernah jd kades. Sayangnya kalah, ternyata si incumbent (entah apa strategi dan manuvernya) terpilih lagi. Mungkin aja saya keliru, benar dia ngga bermanfaat bg kepentingan saya, tapi keberadaannya dirasakan bermanfaat bagi org lain, yah mungkin2 aja. Namanya, suka dan ngga suka kan subyektifitas setiap org.

Akhir dr catatan ini, saya berharap yg terbaik untuk bangsa ini, mau ngga mau kenyataannya masih ada partai, masih ada juga banyak org pengen mendirikan partai, apapun motifnya, kita ingin eksistensi partai memang berguna bagi masa depan negara kita.  

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 10 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar