'TERORISME' ALA KPK


Adalah Benny K. Harman yg mencetuskan pandangannya yg membuat kita mengernyitkan dahi saat ia menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi laksana teroris yg menciptakan kecemasan dan ketakutan dikalangan anggota DPR. Pernyataan Benny merupakan buntut dari pernyataan lain yg lebih kontroversial saat politisi PKS, Fahri Hamzah mengungkapkan gagasan agar keberadaan KPK dibubarkan, karena KPK telah menjadi lembaga superbody yg menciderai nilai2 demokrasi. Sungguh pernyataan konyol dan tendensius dr org2 yg sebenarnya memiliki kecerdasan diatas rata2. Semakin ironis, karena pernyataan itu berasal dr anggota DPR yang membidangi masalah hukum.

Membuat pernyataan itu boleh2 saja bagi siapapun, hanya semakin seseorang populer dan dipandang tokoh publik, maka ia harus hati2 dgn ucapannya, seperti pepatah yg seringkali disampaikan Ruhut Sitompul, "mulutmu harimaumu". Orang pintar harus menunjukkan kepintarannya dgn berkata sesuatu yg berbobot, bernas dan mengandung kebenaran logika. Tidak boleh sekadar 'ngasal'.

Sejujurnya Fahry Hamzah adalah segelintir anggota DPR yang saya kagumi karena kecerdasannya, cara berfikirnya argumentatif dan ilmiah. Tokoh muda DPR lain yg jg mengagumkan adalah maruarar sirait dan Aziz Syamsudin. Memang, sy taunya setelah heboh pansus bank century, maklum waktu itu ketiganya seperti anggota pansus lain rajin masuk tv. Sebelum itu, mereka tak setenar sekarang.

Mungkin benar Fahry adlah mantan aktivis mahasiswa yg begitu idealis dlm mendambakan wajah indonesia yg demokratis. Tak ada lagi lembaga2 superbody yg cenderung tertutup. Tapi mestinya ia ingat, sistem, lembaga, bahkan negara adlah 'benda' mati. Ia akan terasa 'hidup' bila ada dinamika aktifitas manusia, Sehingga baik atau buruk suatu lembaga bergantung pd manusianya. Logikanya, kalau KPK oleh Fahry dianggap buruk dan menciderai demokrasi, jangan salahkan KPK-nya, jangan minta KPK dibubarkan tp kritisilah org2nya. Dgn alur berfikir seperti ini, gagasan atau wacana pembubaran KPK oleh Fahry adalah aneh, konyol dan terlihat bodoh.

Sebagai seorang yg memiliki posisi penting dilembaga negara setingkat DPR, apa Fahry alpa dgn sejarah terbentuknya KPK. KPK lahir ditengah era reformasi, suatu era yg diperjuangkan banyak org ditahun 1998 karena merasa muak dgn budaya korup ala orde baru. Keberadaan KPK dipandang penting sbagai langkah strategis dan luar biasa bangsa ini untuk memberangus praktik2 korupsi yg demikian membudaya dan mentradisi dihampir semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah Fahry ingin kembali berharap dgn cara yg biasa saja, yakni memberikan kembali peran pemberantasan korupsi pd kepolisian dan kejaksaan, sementara kepercayaan publik terhadap 2 institusi penegak hukum ini begitu rendah. Pada situasi ini, mari kita ajukan opsi pd saudara Fahry, pilih mana mendahulukan demokrasi yg berbalut korupsi atau membiarkan adanya lembaga superbody yg akan membantu kita memberantas korupsi lebih cepat.

Idealnya memang demokrasi tanpa korupsi. Tapi apalah artinya idealitas jika itu hanya menjd mimpi. Itu sama dgn pilihan, lebih baik Arab saudi tetap menjd negara monarkhi tp rakyatnya sejahtera dibandingkan memaksakan diri jd negara demokratis sejati tapi rakyatnya menderita.

Terserah saja jika Benny K. Harman menganggap KPK tak ubahnya varian baru terorisme, karena memang KPK harus jd teroris dan ancaman nyata bg pelaku korupsi. Hanya org2 yg bersalah yg takut terhadap keberadaan KPK. Hanya mereka yg terlibat dan diuntungkan dr praktek korupsi yg tdk nyaman dgn keberadaan KPK. Fahry berharap KPK bersedia dikritik, tp mengapa ia marah2 dan balik mengklaim Buya Safii maarif sbagai antidemokrasi hanya karena mengkritik Fahry sbagai pribadi yg labil.

Banyak yg menduga sikap kritis Fahry, begitu jg Aziz Syamsudin pd KPK buah dr kekecewaan lantaran hasil pansus century terkesan diabaikan KPK. Sewaktu pansus century sedang ramai2nya, saya termasuk diantara warga masyarakat yg cukup intens mengikuti perkembangan kasus tersebut, lewat internet dan TV. Tp begitu pansus berakhir, sy berkesimpulan skandal century itu ternyata tdk menarik, karena motifnya sangat politis. Bagi sy bailout sbagai kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan bank century tdk melanggar hukum. Itu kasus yg bermula dr penipuan dan perampokan dana nasabah oleh pemilik bank. Jelas, pemilik bank harus dijerat hukum dan prosesnya ada dikepolisian. Optimal atau tdk proses hukumnya itu tanggungjawab aparat kepolisian. Pihak yg patut dipersalahkan berikutnya adlah pimpinan bank indonesia yg waktu itu dijabat wapres boediono. Jelas bersalah, sebab BI adlah lembaga negara yg bertanggungjawab terhadap kondisi perbankan nasional. Ketika pemilik bank pertama kali mulai mengadakan perampokan dan mengadakan program fiktif yg merugikan nasabah itu tdk terdeteksi, bahkan sampai sekian lama.

Cuma yg mengherankan, kebijakan bail out jd perhatian utama, menkeu srimulyani sbagai penanggungjawab kebijakan dihujat habis2an, sementara saat wapres boediono dihadirkan ke DPR, anggota pansus waktu itu malah adem ayem dan penuh sopan santun, yg ditanyakan pun hal2 normatif. Pd akhirnya proses politik ala DPR itu pun mencapai antiklimaks saat disodorkan ke KPK, karena KPK memang tdk menemukan bukti adanya indikasi korupsi didalamnya.

Org2 seperti Fahry Hamzah membuat kita sbagai rakyat biasa kecewa. Kita kecewa pd org2 DPR, bahkan ketua DPR, Marzuki Ali yg sampai hari tdk bisa memberi bukti kualitas kepemimpinan, selain omongan dan pernyataan yg lebih banyak ngawurnya ketimbang benernya. Seandainya ada polling, lembaga negara manakah yg paling layak untuk dibubarkan, saya yakin hasilnya adlah DPR.

oleh Ainul Huda Afandi pada 6 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar