VIDEO HOROR


Minggu ini public dunia dipertontonkan dua tayangan yang begitu vulgar kematian dua figure yang sudah amat dikenal. Pertama terbunuhnya pemimpin Libya yang telah berkuasa lebih dari 40 tahun lamanya, Moammar Gadafi atau biasa kita sebuat Muammar Khadafi. Kedua, tewasnya pembalap muda berbakat Motogp, Marco Simoncelli. 

Kematian Simoncelli diratapi penggemar motogp, karena penampilannya selama ini dilintasan balap mengingatkan kita pada sosok Valentino Rossi. Bedanya, Rossi memiliki mentalitas juara yang tidak mengesankan ugal2an, sementara Simoncelli cenderung terlalu agresif dan nekat. Diajang balap, satu kesalahan kecil dapat berakibat fatal dan karenanya pemuda asal Italia ini harus mengakhiri hidup lebih cepat di Sepang. Tapi selain faktor human error, peristiwa tragis Simoncelli agaknya juga dipengaruhi beberapa tikungan disirkuit sepang yg terlihat kurang safety. Dari rekaman kita bisa lihat diujung tikungan jalan cenderung lebar yg memungkinkan beberapa pembalap dibelakangnya menyusul dr samping kanan. Posisi menikung adalah posisi rawan bagi tiap pembalap, terutama resiko bila terjatuh masih diarea lintasan, seperti yg dialami Simoncelli. Tapi banyak sirkuit lain punya karakter yg sama, jd apa mau dikata. Sudah takdir Simoncelli. 

Video kematian lain yg begitu menggemparkan dan mengusik rasa kemanusiaan adalah terbunuhnya Khadafi. Bila nanti muncul rekaman2 amatir baru yg lebih komplet saat peristiwa itu terjadi mungkin kita akan semakin merinding betapa horor dan tragisnya nasib Khadafi. Namun dr sisi psikologis, apa yg dialami khadafi sesungguhnya lumrah dalam situasi konflik dan peperangan yg dibumbui aroma dendam kesumat. Tapi saya tidak ingat siapa pemimpin negara di era modern yg nasibnya begitu tersiksa dan terhina seperti halnya Khadafi. Saddam Hussein memang ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung, tp toh ia sempat memperoleh perlakuan yg cukup layak. Ia ditangkap oleh prajurit Amerika yg tak punya motif pribadi apapun dgn Saddam dan hanya bertugas di irak karena menjalankan tugas negara. 

Sementara Khadafi mempersulit dirinya ketika ia memilih mengambil jalan kekerasan untuk meredam gejolak demonstrasi yg menginginkannya mundur. Betapa sulit dicerna akal bila demonstrasi dilawan dgn pesawat tempur. Tak heran, bila demonstrasi itu lama kelamaan berubah menjadi perlawanan dan pemberontakan bersenjata. 

Sialnya, Khadafi punya banyak musuh dikalangan negara2 barat dan negara2 arab yg dgn senang hati lantas mengail di air yg keruh, melibatkan diri dgn menggunakan atas nama mandat PBB. Sayang, sebagai seorang yg sudah mulai lanjut usia, Khadafi terlalu kaku memegang prinsip dan idealismenya. Beberapa bulan lalu, seandainya berfikir lebih jernih dan realistis Khadafi punya kesempatan untuk mengakhiri kekuasaannya secara lebih terhormat. Namun Idealisme untuk mempertahankan kekuasaan Khadafi sama buruknya dgn Presiden Mesir Husni Mubarak. Bedanya, rakyat Mesir cenderung moderat dan lebih ‘santun’ dalam memperlakukan pemimpinnya. Sementara Libya sudah sekian lama terasing dr pergaulan internasional, sekalipun termasuk kaya raya selama puluhan tahun Khadafi sengaja membiarkan Libya terlihat konservatif. 
Akhirnya roda nasib pun berputar. Khadafi yg lebih dr separuh hidupnya terbiasa hidup enak, penuh kemuliaan dan di elu-elukan, kini menemui hari yg paling sial dalam kehidupannya. 

Hari dimana ia bermaksud meninggalkan sirte, karena posisinya kian terdesak, sementara kesempatan kabur keluar negeri nyaris tertutup akibat embargo udara NATO dan kalaupun menempuh jalur darat, ia akan melalui daerah2 yg sudah dikuasai pemberontak. Namun pergerakan Khadafi sudah diketahui NATO yg dengan segera membombardir konvoi kendaraan rombongan Khadafi. Khadafi memang selamat, sayangnya ia tak punya banyak pilihan untuk bersembunyi. Gorong2 lalu jd pertahanan terakhir, tp toh percuma saja. Kalau pun tidak ketahuan, berapa lama ia mampu bertahan ditempat itu, sedang di sekitarnya sudah menumpuk pasukan musuh. 

Waktu itu Khadafi cuma punya tiga pilihan yg sama2 sulit, menyerah dan berharap tetap dibiarkan hidup, melakukan perlawanan sampai mati atau bunuh diri. Khadafi terlanjur memilih opsi pertama. Ia mungkin sudah lupa kehilangan insting bertempur sekalipun dulunya ia seorang kolonel, ia juga barangkali tak punya keberanian bunuh diri semacam Hitler, tp kita khusnudzon saja, itu disebabkan keyakinan agama yg melarang muslim bunuh diri. 

Begitu ketahuan pemberontak, babak demi babak penyiksaan itu dimulai, Khadafi diseret dari lubang drainase, dihajar habis2an, wajahnya disiram debu, rambutnya dijambak, diinjak, bahkan (maaf) ada yg menusukkan semacam pisau diarea pantat Khadafi. Tak cukup sampai disitu, ia ditembak di kedua kaki, dilengan lalu selang satu jam kemudian hidup Khadafi diakhiri dgn tembakan didada dan kepala. Itulah mengapa awalnya kita hampir tdk mengenali siapa yg tengah ditarik ke atas mobil, mukanya terlihat kotor dan wajahnya lebam. 

Setelah meninggal pun, nasib buruk Khadafi belum berakhir, jasadnya diseret dan diarak, lalu dgn begitu saja tubuhnya diletakkan disebuah alat pendingin supermarket. Siapapun boleh melihatnya. Begitu berhari2, warga Libya sepertinya lupa (atau mungkin takut berinisiatif) bahwa Khadafi bagaimanapun seorang muslim yg harus segera dimakamkan dan memperoleh pintu maaf. 

Apa yg terjadi di Libya adalah pelajaran buruk atas hubungan antara pemimpin dan rakyat. Begitu rendah Khadafi dimata rakyatnya, sehingga seakan2 ia manusia hina dina yg tak punya jasa sama sekali. Tapi begitulah seperti kata pepatah, siapa menanam ia akan mengetam, siapa menabur angina maka ia akan menuai badai.

oleh Ainul Huda Afandi pada 25 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar