SAMPAI KAPAN?


Bangsa Arab dan bangsa Israel sejatinya adalah dua bangsa yang paling istimewa di muka bumi. Agama samawi lahir ditengah2 peradaban dua bangsa yang kini saling berseteru tanpa diketahui kapan dan dimana persis ujungnya. Para Nabi dan Rosul juga lahir sebagai bagian dr dua bangsa tersebut, jd memang rasanya sulit dimengerti mengapa dua kebenaran yg saling berdekatan justru memposisikan diri berlawanan. Situasinya ibarat punya anak dalam keluarga, yg satu sangat taat pd org tua, anak yg lain memilih durhaka, dan memusuhi saudaranya.

Konflik bangsa arab dan Israel bersifat multikompleks, motifnya beragam, tp yg paling utama tentunya motif benturan keyakinan keagamaan. Dlm konteks motif ini, sbagai sesama umat Islam kita tentu tau dipihak mana kita mesti berpihak. Persoalannya, dunia modern telah membatasi perasaan dan cara berfikir kita menjadi sektoral. Kita merasa bukan bagian dr bangsa arab, kita berlainan negara dan jauh pula letaknya dr sudut pandang geografis, sehingga sebagai umat beragama pada era modern seperti saat ini bukanlah pekerjaan mudah melakukan mobilisasi kekuatan secara fisik, apalagi kenyataannya tak ada satupun negara dimana warga muslimnya merupakan mayoritas yg kekuatan militernya disegani. Sebagai umat, kuantitas kita tak kalah besar jumlahnya, namun kekuatan kita baru pd level menengah, setidaknya bila dibandingkan kekuatan militer NATO, Amerika Serikat, Rusia dan China.

Secara finansial, kekuatan umat Islam sesungguhnya cukup tangguh dan bila disatukan untuk menyusun kekuatan militer memadai, namun perbedaan garis politik menjadi halangan terbesar. Sejauh ini gerakan pan-Islamisme baru sebatas sejarah masa lalu, wacana dan teori di bangku kuliah atau setidaknya gerakan bawah tanah. Kondisi seperti ini terjadi karena keberanian umat Islam secara keseluruhan dlm berkurban baru sebatas korban kambing dan sapi. Kita akan berfikir seribu kali untuk mengorbankan kenyamanan hidup kita demi agama yg kita anut. “Ngapain ngurusi palestina, lha wong ngurusi perkara perut saja masih mumet.” Begitulah cara berfikir kita saat ini.

Beberapa hari ini, Israel sedang kalap dan emosi, tapi masih terkendali. Mereka menyerang palestina dgn secara acak, korbannya hampir mencapai seratusan org, sebagian diantaranya anak2, namun sebenarnya operasi militer terbatas itu mereka kontrol dgn penuh kehati-hatian, pelan tapi pasti mereka masih menunggu seperti apa reaksi Liga arab khususnya, dan masyarakat internasional umumnya. Kalau reaksinya baru datar2 saja, sebatas kutukan dan caci maki, mereka akan meneruskan operasi militer tersebut dlm durasi waktu tertentu.

Ketika banyak org mengutuk perbuatan Israel, termasuk presiden kita, sy justru punya pikiran berbeda. Menurut saya, Israel harus lebih kejam dan keras lagi dlm serangannya, mungkin lebih baik melakukan operasi militer penuh dgn mengerahkan seluruh kekuatan. Mungkin beberapa ribu atau puluhan ribu warga palestina akan syahid, sy tentu prihatin bila itu terjd, tp justru itulah yg kita (umat Islam) butuhkan. Klo korbannya nanti sudah mencapai angka 10 ribu, lalu dlm beberapa minggu menjadi 20 ribu dan terus meningkat, kira2 kita (umat Islam) masihkah bisa tidur dgn nyenyak, makan dgn nikmat dan ketawa2 seperti biasanya? Klo iya, brarti jumlah korban jiwanya butuh lebih banyak lg untuk menyentuh sanubari dan kesadaran kita tentang makna ukhuwah islamiyah dan makna “almuslimu akhu al-muslim” (muslim dgn muslim yg lain bersaudara). Palestina laksana anak sebatang kara yg ditinggal tidur oleh saudar2nya.

Kata slogan, “persatuan adalah kekuatan” dan setiap persatuan memang memerlukan pemicu dan alat pemersatu. Rezim orde baru adlah kekuatan terorganisir yg sulit diruntuhkan, nyatanya slogan “reformasi dan suksesi” lalu menjadi slogan yg ampuh untuk memobilisasi puluhan ribu demonstran yg mampu memaksa Pak Harto “mundur keprabon”. Demikian pula nasib Bung Karno. Begitulah cerita tentang akhir kekuasaan Marcos. Kini, apa pemicu dan alat pemersatu yg ampuh untuk menyatukan umat Islam, menurut sy ada tiga, masjid al-haram, masjid an-nabawi dan masjid al-aqsha. Seranglah salah satu atau klo perlu tiga2nya, maka anda akan mendapatkan hukuman yg tiada tara.

Ketika Amerika dan sekutunya melakukan agresi militer ke Iraq, Afganistan dan Libya, tak banyak reaksi konkret dr umat Islam, bahkan sejumlah negara Islam turut pula memberikan dukungan. Bahkan bila Amerika dan sekutunya jd menyerang Iran, sy tak yakin itu akan menyatukan umat Islam. Kini Israel menyerang Palestina untuk kesekian kalinya, mereka butuh keberanian meruntuhkan masjid al-Aqsha, tp bila itu terjadi sama halnya mereka menantang kiamat untuk diri mereka sendiri. Mereka akan memperoleh balasan seperti yg kita ketahui informasinya lewat al-Qur’an, mereka akan menderita tanpa tersedia tempat pelarian yg benar2 aman, bahkan dikatakan pohon pun ogah dijadikan tempat persembunyian.

Klo memang kita umat Islam yg sesungguhnya, jika memang keislaman kita tdk sebatas lisptik dan riasan di permukaan, maka kita pasti menginginkan peristiwa itu terjd di zaman kita. Segala sesuatu yg bersifat fana’ harus dimulai untuk memastikan ada akhir. Tak perlu menunggu Nabi Isa atau Imam Mahdi yg kehadirannya diluar batas nalar kita, tentang kapan waktu, bahkan kebenaran informasinya (khusus tentang nabi Isa, masih terjd polemik di kalangan ulama, ada yg berpendapat beliau sudah wafat, sedangkan lainnya meyakini Nabi Isa di akhir zaman akan turun ke dunia). Bagi sy informasi itu tak terlalu penting, itu informasi yg hanya umat Islam menyerahkan zaman mereka pada masa depan. Sy tentu tdk bermaksud mengingkari hadits, tp memilih untuk menerima suatu hadits dgn konteks-logika. Setiap hadits memiliki konteks masing2, disabdakan untuk suatu kepentingan tertentu, baik berangkat dr aksi, reaksi atau berupa informasi. Sebagai muslim, sy berharap kita tidak terjebak pd mitos, cerita yg seolah2 merupakan kenyataan. Karena itu, jalan berfikir kita semestinya logis, karena sesuatu yg diluar nalar lebih banyak terjadi di masa lalu atau mungkin di masa depan.

Misalnya tentang dajjal, sy memahaminya itu bukan semacam monster yg lalu membuat kita berkhayal macam2. Setelah Nabi Muhammad wafat, setiap generasi selalu ada dajjal dlm wujud yg berlainan, semakin lama wujudnya semakin abstrak, sampai2 kebanyakan kita tidak mengenalinya. Amerika, eropa atau Israel bukanlah dajjal sesungguhnya, karena ternyata kebesaran dan kerahasiaan dajjal diluar perkiraan kita. Ia bahkan mampu menyeberang dan merasuki alam pikiran kita. Ini cuma satu contoh, bahwa harus disadari dan diakui kita hidup di zaman yg membingungkan. Setiap hari kita beraktivitas seperti biasa, kita merasa normal dan sehat, seakan2 tak punya masalah berat, bahkan boleh jd sebagian besar diantara kita menatap akherat penuh optimisme, seakan2 syurga sudah di depan mata.

Lantas apa yg harus kita lakukan di tengah dunia yg semakin abu2, tak lagi jelas warna hitam-putihnya? Apakah lalu kita bergabung saja dgn mereka yg berseragam jubah putih, selalu bersemangat mengepalkan tangan seraya bertepik, “Allahu Akbar!!” dan rajin menanamkan pikiran jihad untuk menjadi jiwa atas tindakan yg akan dilakukan? Ataukah kita memilih bergabung dgn kelompok setia pd semangat perdamaian, toleransi dlm segala hal, pluralisme dan anti kekerasan?

Saya tak tau, hidup ini punya banyak pilihan. Ada pilihan yg sama2 benar ada juga pilihan2 yg saling bertolak belakang. Namun, setiap pilihan selalu ada resikonya. Setiap resiko membawa konsekuensi, pd akhirnya Tuhanlah yg akan menilai pilihan2 hidup setiap makhluk-Nya.

Akhirnya, mungkin ada diantara anda yg sedikit tak paham dgn arah catatan ini, bahkan membingungkan dr sisi sistematika topik yg dibicarakan, tp sy cuma ingin menyatakan secara garis besarnya saja, untuk detailnya anda sendiri rasanya lebih paham dr saya, wassalam.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 20 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar