ARTI MORALITAS DAN KEPRIBADIAN



LAGI GAGAL 

Catatan ini sbenarnya dah dibikin pas lg rame2 ngributin konser Lady Gaga, tp dah lumayan lama g ngurusin FB, jd gagal segera tayang, udah basi sbenarnya..tp g pa2lah, lumayan tambah2 koleksi catatan. 

Sejujurnya, walaupun dah agak lama dengar ada penyanyi barat kontroversial yg begitu digemari, termasuk di Indonesia, namanya Lady Gaga namun saya ngga ingat kapan pernah memutar lagu2nya, kayaknya sih belum pernah. Padahal saya punya salah satu hobi hunting lagu, kadang malah klo lg cari lagu dirasa kok format filenya mengurangi kualitas rekaman, bakal cari lagi berkali2 sampai ketemu yg nyaman ditelinga. Masalahnya lagu2 yg biasa saya hunting lagu2 dangdut klasik dan tempo dulu. Maklum, musik kan soal selera, mo dibilang jadul ato katrok, biarin aja. 

Kalo pun ada yg saya tahu dr Lady gaga (sbelum ribut2 konser di Jakarta), setau saya ini penyanyi yg penampilannya suka aneh2, seneng berpakaian erotis. Klo ada penyanyi suka berpakaian nyentrik dan sensual, itu sih biasanya. Penyanyi ini ditolak, dikecam karena membawa budaya negatif plus lirik2 lagunya memuja setan. Untuk yg terakhir saya juga ngga tahu, maklum kemampuan bahasa inggris saya buruk, mau liriknya kayak apa juga ngga ngerti, saya juga pernah seneng denger lagu2 gereja, tp sekedar seneng nada2nya, soal nyanyi tentang apa juga sebodo amit, lha wong ngga bisa menirukan. 

Figur asing satunya lg yg jd kontroversi tahun ini adalah lg Irshad manji..ini juga saya ngga ngerti, siapakah dia, org dr mana, apa saja karya2nya. Apalagi soal tuduhan ia agen yahudi, lah tambah gak ngerti. Sepintas yg saya dengar katanya ia penganut lesbianisme, dan karena kepribadiannya itu, ia dipandang ngga pantas mengemukakan pendapatnya tentang agama melalui karya ilmiah yg dikhawatirkan akan menjadi rujukan bagi org awam untuk melegalkan dogma yg selama ini dipercayai soal penyimpangan seksual. 

Pada akhirnya, perdebatan itu mengerucut pada perspektif kita terhadap makna agama, hak asasi, demokrasi dan kebebasan dalam sudut pandang negara. Inilah kerepotan kita sebagai bangsa yg majemuk, dimana tiap kelompok saling berebut hegemoni dengan beragam kepentingan dan cara pandang masing-masing. 

Sesungguhnya saya tidak menyukai FPI sebagai ormas, karena sikap arogannya serta citra ‘keras’ yg membuat stigma negatif masyarakat non muslim tentang ajaran Islam (bahkan memicu rasa sentimen dikalangan umat Islam sendiri). Namun, secara visi, dalam beberapa kasus saya menyetujui cara berfikir kelompoknya Habib Riziq ini. Termasuk soal penolakan Lady Gaga. Perbedaannya, jika FPI, dkk. merepresentasikan penolakan itu melalui tindakan, saya cukup secara pemikiran saja. Toh, kalau pun saya setuju Lady Gaga, datang, ngga bakalan juga pengen nonton. Alasannya, karena saya ngga ngefans ama dia. 

Penolakan saya sebetulnya ngga cuma tertuju buat Lady Gaga seorang, tapi juga buat penyanyi2 lokal yg berjuang mencari perhatian dan sensasi melalui fisik. Kreatifitas itu terlalu luas untuk bisa dieksplorasi ketimbang tampilan fisik. Banyak kok penyanyi yg bisa dinikmati koreografi atau lewat penampilan enerjik tanpa perlu memberi kesan ‘seksi’. Seks adalah wilayah privat yg tidak selayaknya menjadi konsumsi publik, sebab sekali saja kita toleran terhadap tontonan yg yg menjurus pd pornoaksi, maka kita akan terjebak pada kebiasaan yg lantas dianggap kewajaran. Ini persoalan moralitas, dan masalah moralitas berkaitan erat dgn martabat kita sebagai manusia dihadapan makhluk lainnya. 

Memang, sebagai negara demokrasi kita menganut kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi, tapi bukankah semua kebebasan yg dianut manusia pasti dan harus memiliki batas. Bahkan pemikiran pun bukan tak terbatas. Benar bahwa pencekalan Lady Gaga di Indonesia menjadi sorotan dan head line, terutama di negara2 barat. Tapi, apakah kita bangsa yg tidak berkepribadian, yang hidup bergantung pada penilaian bangsa lain? 

Saya dengar PBNU mengeluarkan statement bahwa kalau pun ada sejuta Lady Gaga datang ke Indonesia itu takkan merusak iman kaum Nahdiyin. Intinya, bagi PBNU, ngga usah ambil pusinglah dgn kedatangan Lady Gaga, itu masalah remeh temeh. Saya ngga sepakat dgn statement PBNU, walaupun saya tau statement ini sbagai counter atas kecaman dan kekhawatiran sejumlah pihak bahwa Lady Gaga akan membawa efek negatif bagi bangsa Indonesia. Lady Gaga ini ngga ada kaitannya dgn iman, walau misalnya ada seorang muslim nonton bokep sejuta kali, bahkan berzina 5 juta kali jg saya masih percaya, bokep dan perzinahannya itu ngga merusak iman. Tapi masalahnya cuma, ketika kita membiarkan tontonan negatif menjadi kebiasaan, maka sedikit banyak akan ada pengaruhnya terhadap pribadi2 tertentu. Klo berpengaruh pd semua yg nonton mestinya tidak, sebab logikanya klo anda gemar dan berkali2 nonton film pembunuhan, apa trus anda pasti terobsesi untuk membunuh? atau klo anda tiap hari nonton pemulung, apa trus kepikiran sesekali pengen jd pemulung ? tidak juga. 

Sebagai bangsa, sudah lama kita tak kunjung mampu keluar dr problem moralitas, kepribadian dan standar ganda. Gimana bs mengatasi, klo kita sendiri nyaman dan betah walaupun setiap hari kita hidup layaknya tiada hari tanpa dosa. Kita mungkin bisa saja masih tertib menjalankan ibadah, rajin sedekah atau mencegah prilaku yg merugikan atau menyakiti org lain, tp begitu menghidupkan TV, mulailah setan bergentayangan dgn jebakan2 tersamarnya, yg boleh jd tidak disadari oleh seorang ahli agama sekalipun. 

Sebagai idola, Lady Gaga adalah salah satu simbol gaya hidup hedonisme dan ketidakperdulian terhadap ajaran agama. Daya tariknya tak ubah sepak bola bagi penikmat sepak bola. Rela hujan2an dan antre berjam2 biar dapat tiket, rela begadang, bahkan rela ngga sholat asal bisa nonton bola. Sebagai manusia, normal klo kita selalu ingin mencari sumber2 kebahagiaan. Tapi alangkah malangnya kita jika semua produk dunia ini mengalahkan sumber kebahagiaan yg berasal dr agama, padahal melalui agama-lah kita bisa memperoleh tiket kebahagiaan hakiki.
oleh Ainul Huda Afandi pada 2 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar