DILARANG MENGANIAYA KHATIB


Jum’at (9/9) boleh jd hari sial buat Tgk Saiful Mila, pasalnya saat tengah asyik menyampaikan khtutbah di Masjid Raya Ji Jiem Aceh, tiba2 beberapa orang jamaah tiba2 berdiri dan memintanya turun dr mimbar. Agaknya mereka merasa tersinggung dengan isi khutbah Tgk Saiful yg dianggap menyindir dgn kalimat lugas dan menohok dunia politik di Aceh. Lantaran tak menggubris dan tetap melanjutkan khutbahnya, beberapa orang jamaah itu lantas menghambur ke arah mimbar dan memukuli si khatib. Untungnya para jamaah lain melerai dan mengamankan pengasuh sebuah pesantren ini ke mapolsek terdekat. Akhirnya, shalat jum’at tetap dilanjutkan dengan khatib pengganti.

Peristiwa ini memprihatinkan buat kita umat islam. Hari jum’at adalah hari yg dimuliakan menurut syariat islam, karenanya shalat Jum’at pun memiliki posisi istimewa sehingga setiap muslim mukallaf wajib mengikutinya. Kita tentu saja ingat sgala anjuran menyambut saat tiba shalat Jum’at, mandi, memotong kuku, memakai wewangian dan sebagainya merupakan prosesi yg diatur agama untuk menempatkan hari jum’at sebagai hari spesial. Itulah mengapa ada aturan yg melarang jamaah berbicara disaat khatib sedang menyampaikan khutbah, itu bagian dr pengkondisian agar jamaah menghormati prosesi shalat Jum’at. Itulah mengapa, peristiwa pemukulan khatib merupakan penistaan ritual jum’at, kecuali isi khutbah khatib benar2 menyimpang dr kebenaran. Kalaupun ada diantara jamaah yg tidak sreg dgn isi khutbah jum’at yg disampaikan, alangkah baiknya menahan diri hingga aktivitas shalat jum’at selesai. Perkara setelah itu mau memprotes si khatib, silahkan saja. Atau kalau khawatir emosi bakal membuncah dan khawatir tak bs menahan diri, mungkin lebih baik segera keluar dan berpindah masjid lain. Saya pernah lihat yg seperti ini di jogja, saat khatib di sebuah masjid terpancing untuk berbicara soal politik yg cenderung sensitif.

Terlepas dr soal pemukulan, realitas khutbah jum’at di indonesia memang ada yg perlu diluruskan. Tradisi di masjid2 tradisional NU menurut sy masih lebih baik karena para khatib biasanya tidak membuat materi khutbah sendiri. Mereka umumnya berkhutbah dgn membaca buku2 khutbah yg banyak ditersedia di toko buku. Membaca buku khutbah bg saya itu adlah langkah paling bijak dan ‘aman’ supaya terhindar dr kemungkinan ‘terpeleset’ lidah. Sementara, di banyak masjid Muhammadiyah dan di masjid2 kampus, mungkin karena merasa piawai berceramah akhirnya mereka menyampaikan materi khutbah tanpa teks, akibatnya ya pembicaraan mudah melantur kemana-mana. Padahal ada anjuran Nabi supaya mempersingkat khutbah. Anjuran ini bukan tanpa alasan, shalat jum’at pelaksanaannya disaat manusia mudah merasa lelah dan mudah pula terserang kantuk, agama sangat bijak soal hal ini, karenanya shalat jum’at pun Cuma 2 rakaat saja. Klo toh ingin berbicara panjang lebar, bila perlu dipenuhi lelucon, carilah momen lain diluar aktifitas shalat jum’at.

Sgala penyimpangan saat prosesi shalat jum’at tdk hanya terjadi dimasa kita sekarang saja. Saya pernah membaca buku khutbah, mungkin dibuat diawal2 pemerintahan orde baru karena masih menggunakan ejaan lama, isinya sarat dgn hasutan dan hujatan terhadap pihak2 yg berseberangan dgn penguasa, terutama para pejabat orde lama, termasuk pula Bung Karno. Berabad2 sebelumnya, umat islam pun pernah mengalami masa2 kelam dimana momentum hari jum’at dimanfaatkan penguasa lewat para khatib untuk menghujat Khalifah Ali bin Abi Thalib, keluarga dan pendukungnya, lazimnya dilakukan diakhir khutbah. Ini terjadi dimasa kekhalifahan Bani Umayyah dan berjalan sekian lama. Kebiasaan buruk ini akhirnya dihentikan oleh Khalifah terbaik Bani Umayyah, yakni Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan menggantinya dgn lafadz berisi do’a serta ayat2 al-Qur’an sebagaimana kita kenal sekarang.

Ibadah itu adalah sikap moralitas makhluk kepada Khaliqnya, tujuannya haruslah lillahi ta’ala dan bersih dr kepentingan2 negatif kemanusiaan. Ia tak boleh dipolitisasi atau diperalat untuk menguntungkan kelompok tertentu atau menghancurkan pihak lain. Sebab, jamaah hadir supaya memperoleh ketentraman dan ketenangan batin, bukan justru menjd emosi dan pulang dgn perasaan penuh benci lantaran isi khutbah yg tak mengenakkan hati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar