PORNOGRAFISASI


Seperti yg dulu pernah sy ceritakan, salah satu aktivitas keseharian sy saat ini adalah mengajar, sy memang menyempatkan waktu beberapa hari dgn berprofesi sbagai pendidik. Tanpa bermaksud sok idealis, motif utamanya sejujurnya bukanlah soal gaji, honor atau sebangsanya. Sebab bila motifnya uang, gaji pengajar itu terlalu sedikit untuk memenuhi segala keinginan dan hajat hidup. Klo soal duit saya memilih mencarinya lewat profesi lain (yg lebih bs diharapkan dr sisi nominal). Setidaknya, sementara ini faktor tradisi keluarga turun temurun dan tanggungjawab terhadap ilmu itulah motivasi terbesarnya.

Minggu lalu ada situasi kurang nyaman terjadi di sekolah tempat sy mengajar, kami menyelenggarakan rapat yg agenda utama sebetulnya membahas tentang tunjangan untuk siswa kurang mampu. Diakhir rapat ada informasi, bahwa beberapa hari sebelumnya ada kasus pelecehan seksual dimana beberapa siswa melaporkan bagian tubuh yg bersifat pribadi telah dijamah oleh beberapa siswa lain. Masalah jamah-menjamah mungkin bukan pertama kali terjadi, tp baru kali ini ada siswi yg berani melaporkannya. Sejumlah guru wanita sontak merasa panas hatinya, mungkin sensivitas sebagai sesama wanita merasa terusik. Satu guru kemudian mengusulkan, “ya sudah! sita sidang saja mereka didepan para guru, biar malu..”. Saya tidak setuju, lalu sy mengusulkan, “sebaiknya mereka dipanggil dulu dan diberikan konseling, supaya informasi dan laporan yg baru sepihak itu bisa diklarifikasi secara khusus, sehingga informasi yg diperoleh jg seimbang”. Sayangnya, sy kalah dukungan, akhirnya siswa tersangka dan korbannya sama2 dipanggil saat itu juga. Awalnya cuma tiga siswa dan empat siswi. Mereka diinterogasi dgn intensitas dan intonasi bicara yg tinggi, tak ada kesempatan untuk membantah, yg ada hanyalah keharusan untuk mengakui.

Apa yg ditanyakan kemudian berkembang, tdk lg soal jamah-menjamah, tp soal kebiasaan nonton content porno. Tiga siswa mengakui, ternyata ada juga siswi yg mengakui pernah melihatnya. Saya tak heran dgn pengakuan ini, karena pernah jg sy menanyakan khusus siswa satu kelas (sy berusaha tdk menanyakannya pd siswi di depan kelas, dgn pertimbangan kehormatan wanita itu harus dijaga, klopun perlu menanyakan sy akan memanggilnya secara pribadi -tentu dlm konteks sbagai guru-) , pernahkah melihat pornografi, kenyataannya seluruhnya mengakui pernah, cuma satu siswa saja yg ragu2 menjawabnya.

Merasa terdesak, beberapa siswa yg tengah disidang tersebut lalu menyeret nama siswa lain, secara bergelombang siswa2 yg disebutkan namanya pun sy panggil. Termasuk diantaranya adalah anak (yg sering dibangga2kan ibunya) guru yg hadir pula dlm rapat itu. Habislah si anak di ‘hajar’ sama ibunya itu. Disudut lain, ada juga guru wanita yg kebetulan guru agama terlihat sangat terpukul dan menjd emosional, dgn nada suara yg meledak, tangis pun pecah seolah tak kuat ia menahan rasa sakit hati karena merasa gagal menanamkan ilmu keagamaan pd siswa yg sudah hampir tiga tahun diajarinya tersebut. Situasi menjd kurang terkontrol, karena siswa tersangka dan siswa pelapor akhirnya sama2 merasakan kemarahan. Sampai2 para guru menginterogasi, “kamu pernah ya melakukan ****?”. Waduh, para guru ini agak kebablasan... pertanyaan seperti ini bukan tdk pantas ditanyakan, tp tdk layak diajukan secara terbuka, apa jdnya klo siswi2 tersebut mengatakan iya dan berita lalu tersebar, bs berabe urusannya.

Aku bilang jg apa..tdk tepat cara merespon, tidak efektif pula hasilnya. Klo kasus semacam ini ditangani dgn kepala dingin, dgn pikiran jernih, dgn pendekatan yg tepat, hasilnya akan lebih baik, tdk saja buat kepentingan sekolah, tp juga buat kepentingan siswa.

Bagaimanapun kita harus menerima kenyataan bahwa pornografi itu sudah merambah demikian jauh pd sebagian besar lapisan usia. Bahwa indonesia tercatat sebagai negara peringkat kedua setelah rusia dlm hal mengakses content porno. Dalam konteks pendidikan, dgn berat hati sy harus jujur berpendapat bahwa pendekatan agama tdk selamanya efektif mencegah siswa untuk menonton content porno. Buktinya, sy pernah tinggal di pesantren dan fenomenanya banyak santri yg terkenal alim, paham betul soal ilmu agama, rajin betul ibadahnya, tp tetap saja tak kuasa menahan diri dr hasrat pornografi. Karena aspek seksual itu memang unik, daya tariknya terlalu besar untuk dihindari.

Dulu di jogja pernah ada survei yg cukup kontroversial, tentang keperawanan. Klo tdk salah ingat, katanya 93 % pelajar-mahasiswa puteri sudah ngga perawan lagi. Saya kira angka berlebihan, karena itu sama artinya menyatakan 93 % pelajar-mahasiswa putera sudah ngga perjaka lagi. Sbagai org yg pernah tinggal lama di sana, sy tdk melihat fenomenanya separah itu. Klo berkisar 50-60 % sy mungkin masih bisa percaya, karena sebagai kota pelajar yg mayoritas merupakan pendatang, pelajar-mahasiswa di Jogja punya banyak kesempatan klo mau terlibat seks bebas. Saya sendiri pernah tinggal di satu kos, dimana kos tetangga adlah kos campur (penghuni kosnya cowok-cewek), begitupula kos tetangga di depan rumah, bahkan adik ibu kos saya yg bersama pasangannya tinggal jg disitu, konon (isunya) bukan suami istri alias ‘kumpul kebo’. Faktanya memang memprihatinkan dan itulah kenyataan yg harus dihadapi. Pelanggaran terhadap ketentuan agama, saking banyaknya pelaku lantas dianggap dan disikapi sebagai kewajaran.

Aspek seksualitas adlah salah satu obsesi bagi setiap manusia yg normal. Sifat kemanusiaannya memang begitu lazimnya. Persoalannya adlah, seberapa banyak obsesi lain yg dimiliki seseorang, semakin banyak obsesi yg daya tariknya tidak kalah dgn obsesi seksual, maka org tersebut tdk akan memandang kenikmatan seksual adlah kenikmatan yg paling membahagiakan. Maka, jarang heran bila ada org yg tidak hobi berpacaran bahkan menunda pernikahan yg melebihi batas usia normal. Mereka ini punya obsesi2 lain yg mungkin lebih mengasyikkan hingga tdk menganggap memenuhi kebutuhan seksual adlah sebuah keharusan dlm hidupnya. Lihat saja org2 jepang. Org2 jepang memiliki karakter ‘gila’ kerja, punya obsesi berlebihan terhadap pekerjaan (karena mereka memang menikmati bekerja sbagai salah satu sumber kebahagiaan), sehingga menurut survei org jepang adlah bangsa yg termasuk paling tdk rutin melakukan hubungan seksual.

Berbeda dgn bangsa kita yg melulu memandang pekerjaan adlah syarat untuk hidup nyaman dan menghasilkan uang. Cara berfikir ini tdk salah, namun klo boleh memilih mungkin banyak masyarakat kita yg lebih suka kaya tanpa perlu susah payah bekerja. Akibatnya, ngga heran bila obsesi yg paling menonjol adalah obsesi tentang seksual, main2, bergaya dan obsesi tentang pengakuan masyarakat.

Apa solusi terbaik terhadap masalah yg terkait dgn aspek seksual, menurut sy disamping wawasan keagamaan, informasi kesehatan, pendekatan psikologis yaitu adanya kesibukan. Klo tdk mau jd penggemar content2 porno, carilah kesibukan, biarkan anda larut dlm kesibukan demi kesibukan sampai kemudian anda tak punya sedikitpun waktu untuk memikirkan atau terpikir untuk membuka atau melihat content2 porno. Maka terhadap kasus siswa yg melihat pornografi, sy memandangnya biasa saja, reaksi saya tetap tak berlebihan, karena itu bagian dr dinamika perkembangan teknologi yg susah untuk dihindari. Dari pd menghabiskan waktu untuk menceramahi dan memberi hukuman pd siswa, sy memilih pendekatan psikologis untuk mengorek informasi, conten porno apa yg dilihat, bentuknya gambar/foto atau video, pemerannya lokal atau luar negeri, berapa kali melihat dlm seminggu, melihatnya lewat media apa (komputer, stensil atau via hp), dapatnya content porno itu dr siapa, dan lain2. Semakin banyak informasi yg diperoleh, maka data informasi tersebut akan berguna untuk melihat seberapa parah atau seberapa luas dampak yg ditimbulkan sehingga cara penanganannya jg akan lebih menyentuh. Karena setiap siswa mestinya punya pengalaman, aksi-reaksi berbeda, sehingga pendekatannya juga berlainan.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 22 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar