AKREDITASI


Minggu2 ini adlah bulan yg super sibuk buat para guru disekolah. Maklum lg musim akreditasi. Ada nuansa ketegangan dan harap2 cemas bagi kalangan guru saat mengisi pilihan jawaban dlm instrumen pendataan akreditasi, tentang bagaimana mempersiapkan bukti2 pendukung, termasuk pula bagaimana melayani petugas asesor yg datang melakukan validasi dan klarifikasi ke sekolah [ada jg guru yg memplesetkan asesor dgn istilah aksesoris..hehe].

Terus terang sy ngga terlalu paham detail soal akreditasi ini. Setau sy ini mekanisme dan sistem yg dibangun pemerintah untuk mengecek kelayakan suatu lembaga pendidikan dr berbagai aspek, baik menyangkut pendidikan, administrasi atau kependidikan sekolah, kondisi siswa, keadaan tenaga pengajar, fasilitas dan kegiatan ekstra kulikuler. Jelas sistem akreditasi ini demikian urgen dr sisi manfaat. Dgn metode akreditasi, dapat diartikan pula bahwa pemerintah berharap pihak sekolah akan selalu terpacu untuk meningkatkan kualitasnya masing2.

Tapi namanya jg ketentuan, tentu ada resiko bila hasil akreditasi kemudian menunjukkan sebuah sekolah dianggap  tdk layak menurut pemerintah. Makanya wajar ada ketegangan dan kecemasan bagi sejumlah guru. Biasanya dlm posisi yg kurang menguntungkan kebanyakan org sulit untuk berlaku jujur dan transparan, termasuk pula beberapa guru. Tantangan kejujuran itu terjd saat mereka harus menentukan jawaban, terkadang bukan lagi jawaban yg sesuai dgn kondisi riil sekolah, tp yg penting yg di contreng A atau B biar hasil akreditasinya bagus. Perkara bukti instrumen, gampanglah..klo ngga ada tinggal direkayasa.

Mengapa para guru suka sekali pilihan jawaban A dan B, ya iyalah sebab klo semua jawaban D dan E,  itu namanya bunuh diri. Si asesor klo datang komentarnya bakalan singkat aja,  mungkin sambil tersenyum sinis, "selamat, ya..mulai tahun depan ngga usah menerima siswa lagi.."

Motif seseorang atau sekelompok org untuk jujur atau berbohong kerapkali tidak sesederhana apa yg biasa kita dipikirkan. Terkadang situasinya memang penuh dilematis, mungkin seperti misalnya situasi yg dialami Nabi Ibrahim saat ditanya org2 kafir siapa yg telah menghancurkan berhala sesembahan mereka. Waktu itu Nabi Ibrahim terpaksa berbohong bahwa yg melakukannya adlah berhala terbesar yg sengaja tdk ikut ia hancurkan. Bukan sebab Nabi Ibrahim merasa takut akan sanksi sosial dan kerajaan waktu itu, tp beliau sebenarnya ingin menyindir sekaligus memberi pelajaran agar umatnya mau berfikir mungkinkah batu yg tak bs bergerak itu pantas disembah. Tp atas alasan apapun berbohong sekalipun demi kebaikan maknanya tetaplah sama, tidak berkata jujur.

Sejatinya kita harus paham dan maklum mengapa sewaktu ujian nasional banyak sekolah justru mengajari siswa berbuat curang dgn beragam modus dan cara. Bukan karena guru2 itu adlah org2 yg biasa berlaku kotor dan menghalalkan sgala cara. Mereka terpaksa melakukan itu karena ada resiko rumit jikalau nantinya banyak siswa gagal lulus UN. Tidak sekedar soal citra atau nama baik sekolah, tapi jg eksistensi sekolah pd tahun ajaran berikutnya termasuk pula eksistensi mereka sebagai guru [terutama guru swasta]. Akar masalahnya kompleks.

Lagi2 kita jg harus maklum dgn kenyataan banyak kepala sekolah harus melakukan mark up jumlah siswa, membeli jasa pembuatan PTS, atau fakta ada sejumlah guru terpaksa harus membeli titel sarjana, kuliah diperguruan tinggi yg tdk jelas kualitasnya, dan meminta org lain membuatkan PTK atau KTI. Akar permasalahannya jg tdklah sederhana. Membuat karya ilmiah itu sulit bahkan bagi mahasiswa S2 atau S3 sekalipun. Dan kondisi menjd bertambah sulit kalo guru tinggal didaerah, tanpa dukungan perpustakaan yg memadai, toko buku nyaris tak ada, minim rental komputer, tak ada jaringan warnet, dan mereka hanya diberikan waktu belajar teori penelitian dalam wujud pelatihan hanya beberapa hari saja.

Katakanlah punya komputer, tp gimana klo ngetik saja ngga bisa. Seandainya pun semua fasilitas itu tersedia buat para guru yg umumnya sudah berkeluarga itu, masih adakah waktu senggang buat mereka untuk menggarap ptk, pts, kti dan sebangsanya.Jikalau mereka punya banyak bahan dan data, mereka akan tetap  kebingungan bagaimana cara memulainya, cara menuliskannya diatas kertas secara sistematis, sebab membuat tulisan itu sebuah kecakapan tertentu yg memang perlu latihan dan pengalaman, bukan perkara gampang bagi tiap org.

Itulah mengapa sy berpendapat, seharusnya jurusan pendidikan disemua perguruan tinggi memberikan porsi satu semester penuh untuk belajar teori dan praktek menyusun karya ilmiah. Masa kuliah memang akan lebih lama, tp itu akan membuat guru tidak lagi gamang saat mendapat tugas menyusun karya ilmiah disekolah. Makanya, saya tak heran bila banyak guru kemudian memilih jalan pintas untuk melakukan plagiat atau membeli jasa pembuatan karya tulis ilmiah.

Saya ingin pemerintah berhenti menerapkan kebijakan "injak bawah" seperti layaknya praktek MLM. Bantulah guru dgn menyelesaikan akar permasalahan, bukan dgn memaksa mereka melakukan sesuatu diluar kemampuan, hanya demi prestasi diatas kertas, demi akreditasi tertinggi, demi basa-basi profesionalisme guru dan mutu sekolah. Jangan lagi pemerintah menempatkan guru pd posisi sulit, terjepit dan dilematis, lalu terpaksa melanggar nilai2 kejujuran. Berhenti membuat banyak org2 baik itu terpaksa harus berdosa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar