KARYA ILMIAH


Masih ingat berita dua Doktor UPI Bandung dan seorang Doktor Unila Lampung yang karya ilmiah untuk kepentingan promosi sebagai guru besar ternyata ditengarai hasil plagiat. Begitu pula berita bahwa sekitar satu tahun lalu ribuan guru di Riau terancam terkena sanksi akibat karya ilmiah yang diajukan untuk kepentingan status kepegawaiannya dicurigai produk perjokian, alias dibikinkan oleh orang lain. Kenyataan ini memang membuat miris, tapi sebenarnya realistis. Artinya berbagai perilaku penyimpangan dlm konteks tugas karya ilmiah sudah jd rahasia umum dilakukan, walaupun tentu masih banyak mahasiswa dan dosen yg jujur dalam menyusun karya ilmiah. 

Sebagai sebuah kompetensi, menyusun karya ilmiah memang tidaklah mudah, memerlukan kecakapan tertentu dan tentu saja yg terpenting memahami teori penelitian yg cukup rumit. Ada sejumlah syarat yg harus dipersiapkan bila seseorang entah dia mahasiswa, dosen, guru atau org yg bekerja pd bidang penelitian agar menghasilkan produk karya ilmiah yg berkualitas. Pertama, memiliki pemahaman yg memadai tentang teori2 penelitian, menguasai teknologi (bisa berbentuk cara mengoperasikan komputer maupun memanfaatkan internet sebab banyak referensi yg susah mencari dlm wujud cetak, seperti buku, makalah dsb.), lalu tersedia dgn fasilitas toko2 buku atau perpustakaan, lokasi penelitian yg representatif dgn topik yg tengah diteliti, dan tentu saja biaya. Syarat yg terakhir ini yg penting, namun di indonesia kondisinya ngga menunjang karena kebanyakan harus swadana alias pake duit sendiri. Seringkali tuntutan kewajiban membuat karya ilmiah formal oleh pemerintah atau pihak kampus kurang realistis dalam membebankan tugas pada mahasiswa atau guru. Masih ada syarat lain yg sayangnya kurang ditradisikan, yakni kemampuan menemukan masalah, menganalisa masalah dan kemampuan menulis. 

Belum lama ini, acara mata Nazwa di metro TV mengupas topik berjudul ”sarjana semu”, dgn menghadirkan salah seorang pelaku jasa perjokian dan jasa bimbingan skripsi,thesis dan disertasi. Betul bahwa semua praktek ini adalah penyimpangan, namun semua bergantung akar masalahnya. Bila merunut akar masalah, maka kita akan menemukan kesalahan pemerintah dan kegagalan perguruan tinggi untuk mencetak para mahasiswa peneliti yg kompeten. Mungkin segelintir saja yg motifnya ”cari gampangnya saja” atau ”ngga mau repot”. Mayoritas disebabkan karena mereka memang tidak memenuhi berbagai kriteria kecakapan menyusun sebuah karya ilmiah. Sebab ngapain keluar duit 1,5-4 juta, bahkan klo disertai konon dikisaran 15-40 juta, klo mampu bikin sendiri ongkosnya tidak sebesar itu. 
Maka tak heran, praktek ’simbiosis-mutualisme’ antar konsumen dan penyedia jasa joki karya ilmiah lantas menjadi fenomena yg dipandang lumrah. 

Dalam catatan ini saya ingin berbagi pemahaman (harap dikoreksi bila keliru), tentang cara menyusun karya ilmiah. Pertama, tentu kita harus paham hakekat penelitian dan karya ilmiah. Bila seorang dosen paham hakekat penelitian bagi mahasiswa S1, dia mestinya tidak memberi kesan ”rewel” dan mempersulit, apalagi memaksa mahasiswa mencari judul dan tema yg aneh2. Kriteria dasar karya ilmiah S1 adalah yg penting si mahasiswa peneliti benar dlm proses menemukan jawaban dr rumusan masalah yg dibuatnya. Artinya sepanjang secara prosedur penelitian skripsinya benar, maka itu sudah cukup. Berbeda dgn karya ilmiah S2 dan S3 yg kriterianya jelas lebih lengkap. Ada perbedaan standar. 
Kedua, kunci dr karya ilmiah adalah masalah yg ditemukan, dibatasi dan dirumuskan (dlm istilah karya ilmiah sering disebut dgn rumusan masalah). Rumusan masalah akan menentukan teks judul, tujuan penelitian dan metode penelitian yg digunakan. Melalui rumusan masalah pula kita dpt menentukan apa jenis penelitian dan sebaiknya mencari jawabannya lewat pendekatan apa, kualitatif, kuantitatif atau perpaduan keduanya. Kesalahan dlm memahami dan menentukan jenis penelitian seringkali membuat para skripser atau thesiser tidak fokus dalam memasukkan data2 apa saja yg perlu dicantumkan dlm karya ilmiah, itulah pentingnya memahami proses reduksi data berlandaskan batasan masalah. Klo rumusan masalahnya tentang prestasi belajar, ngga perlu mencantumkan data tentang respon atau perilaku, sekalipun terlihat lengkap dan komplet, tapi kita harus paham bahwa karya ilmiah diperguruan tinggi bersifat pembelajaran, sehingga hasil bukan target utama, yg penting mahasiswa konsisten dan fokus dgn jawaban atas masalah yg tengah diteliti. 

By the way, saya pengen cerita dulu pengalaman bikin skripsi sewaktu masih kuliah (moga2 lain kali punya kesempatan bikin thesis dan disertasi, hehe...). Masa itu saya butuh lulus dgn cepat (maklum, waktunya dah mepet banget dgn batas semester kuliah yg diperbolehkan). Supaya dlm prosesnya ngga lama, akhirnya saya mengajukan proposal menggunakan satu variabel penelitian. Kebetulan jurusan di Fakultas tempat saya kuliah, para dosennya termasuk longgar. Bahkan saya tak perlu harus melalui prosedur mengajukan judul lebih dulu. Jadi ketika saya ajukan sudah berbentuk proposal, karena saya yakin akan diterima. Pertama harus diajukan ke pembimbing akademik, beliau cuma lihat judul dan rumusan masalah, ngga sampai 2 menit muncul komentar singkat, ”ya..bagus.”. Pujian tentu menyenangkan, tp ada yg lebih penting, tulisan acc plus paraf dr pembimbing akademik yg seingetku selama kuliah mungkin cuma kali itu aku khusus menemui beliau. Proses berikutnya mengajukan proposal td ke ketua jurusan untuk meminta pembimbing. Terjadi sedikit diskusi, karena ada beberapa hal dlm proposal yg perlu diperbaiki. Beliau akhirnya menunjuk seorang dosen dgn gelar doktor sebagai pembimbing. Singkat cerita, saya sukses merampungkan skripsi 150 halaman dgn waktu relatif ngga pake lama. Ketika munaqosyah pun tergolong bikin heran temen2 yg nonton karena terbilang lancar jaya (sayangnya sekalipun dipuji penguji, tetep aja gak dapat nilai maksimal, mungkin dah takdirku ngga disukai sama nilai A), barangkali tadinya mereka pengen liat hiburan berupa ’pembantaian’. Mereka lupa, dosen itu biasanya ngga selera ’menghabisi’ mahasiswa yg dah terlalu lama mondar mandir dikampus, hehe.. 

Mengenai pembimbing, masing2 perguruan tinggi memang punya kebijakan tersendiri dlm hal pembimbing. Ada yg memakai satu pembimbing, banyak pula yg dua pembimbing. Dua kebijakan berbeda ini punya sisi kelemahan dan keunggulan, bergantung kapabelitas dosen yg ditunjuk. Bagi mahasiswa tentu lebih menyenangkan bila satu pembimbing, karena pertimbangan waktu dan menihilkan kemungkinan terjadi perbedaan pandangan antar pembimbing dlm menilai hasil penelitian mahasiswa. Secara aturan main, sebetulnya hal ini sudah diantisipasi melalui pembagian tugas, pembimbing II urusan penulisan, sementara pembimbing I khusus isi skripsi saja. Namun, dlm prakteknya banyak dosen yg tidak konsisten dlm menerapkan aturan main ini, akibatnya mahasiswa kerap dlm posisi ’terjepit’. Belum lagi jika salah satu pembimbing tergolong dosen sibuk, tidak rajin ke kampus dan ngga mau ditemui dirumah. 
Atas kondisi seperti ini saya punya gagasan klo proses bimbingan penelitian itu sebaiknya tidak diserahkan pd dosen pengajar, tp pada lembaga penelitian milik kampus yg org2nya ngantor setiap hari. Jd, tugas mereka selain mengelola penelitian kampus seperti membuat jurnal, dsb. juga melayani bimbingan skripsi mahasiswa, merekalah yg merekomendasikan dan membuat persetujuan bila skripsi siap diujikan. Barulah penguji diambil dr dosen2 pengajar. Sistem seperti ini akan membuat karya ilmiah mahasiswa lebih sesuai menurut standar kualitas yg ditetapkan kampus dibanding diserahkan pada dosen pengajar yg punya aktivitas beragam, dimana adakalanya karena kesibukan lalu membimbing mahasiswa ’asal2an’. 

Akhirnya, terlalu banyak hal yg perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan di negara kita. Mereka yg punya kesempatan masuk dlm birokrasi pendidikan tentu punya tanggungjawab yg lebih besar untuk senantiasa menyadari hakekat, esensi dan implikasi pendidikan bagi generasi muda penerus bangsa. 


oleh Ainul Huda Afandi pada 18 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar