NAKAL PANGKAL KRIMINAL


Menjadi guru itu menyenangkan, tp juga tak mudah. Terutama saat berhadapan dgn sekelompok siswa yang bandel nan nakal. Kalo menuruti kata hati, mungkin yg terbersit dalam pikiran sama seperti rekan guru wanita disekolah lain yg pernah bercerita memarahi seorang siswa habis2an, katanya : “kowe ki lho, uwis rai ne elek, ndableg, nakal..goblog sisan !!”, mendengar ceritanya, saya cuma cengengesan sambil mbatin, “mbok ra sadis2, bu..”, tapi si siswa memang nakalnya bukan main, pernah dikeluarkan dari sekolah, lalu orang tuanya datang minta maaf, akhirnya si anak diperbolehkan masuk sekolah lagi, mungkin sudah takdir eh nakalnya kumat, ibarat ungkapan org betawi, "kagak ade matinye, deh.." Puncaknya, para guru membuat kesepakatan sepihak, lapor sama kepala sekolah, “Pak, klo si anak ini ngga di skors selama 1 bulan, kami ngga mau ngajar di kelasnya..”. Saya ngga bisa komentar lebih jauh karena emang ngga ngerti seberapa luar biasanya kenakalan anak tadi, tp saya tetap ngga sepakat untaian kata2 kemarahan yg terlalu emosional bu guru td, masa sih wajah jelek dibawa2 segala…

Disekolah tempat saya meluangkan waktu satu-dua hari mengajar, kondisi siswa sebenarnya ngga terlalu parah banget, kecuali satu kelas. Di kelas ini siapapun gurunya, bawaannya slalu emosi. Masalahnya, sebagian murid habis punya tipikal hiperaktif dalam membuat suasana kelas berisik, pokoknya banyak siswa tergolong ‘cerewet’ dan 'nyinyir', tiap guru atau siswa lain ngomong mesti komentar, sudah begitu ada beberapa siswa yg malas mencatat, klo dijelaskan soal materi pelajaran, keliatan suntuk, bete, lalu ada2 aja ulahnya. tp klo cerita yg ngga ada kaitannya dgn pelajaran, semangat. Anehnya, sangat jarang di kelas ini ada siswa tidak masuk atau bolos.

Setiap kali habis mengajar di kelas ini, suara jd serak, karena volume suara terpaksa mesti disetting tinggi untuk meredam kegaduhan siswa. Berbagai cara sudah dilakukan, mulai dr membuat semacam kontrak belajar, catatan kasus, sampai yg terakhir skors 1 kali pertemuan. Jadi, diakhir pelajaran saya sesekali membuat evaluasi khususnya pada siswa2 bermasalah pembuat onar, klo selama proses belajar kelakuan mereka melebihi toleransi maka tidak ada lg peringatan 1, 2 dan 3 (karna dah basi..), langsung jatuh sanksi skors tak boleh mengikuti pelajaran pada pertemuan berikutnya. Pilihannya ada 2 bagi siswa yg diskors , mereka dikirim belajar di ruang perpustakaan atau ditempat parkir motor, tinggal pilih. Siswa nakal tadi boleh jadi ditempat hukuman ngga belajar juga, tp setidaknya itu akan menyelamatkan siswa2 lain yg memang menunjukkan keseriusan ingin mengikuti aktifitas belajar mengajar.

Klo sudah begitu, saya biasanya memberikan nasehat pada siswa, bahwa salah satu tugas guru selain mentransfer ilmu, juga menjaga agar siswa tidak bandel dan nakal. Bandel itu sahabat dekat dari malas, dan kebanyakan anak yg bandel bila dibiarkan berkepanjangan biasanya kurang pintar, jadi bandel itu pangkal bodoh. Bandel berbeda dgn nakal, klo seorang siswa bandel, males mencatat, malas mengerjakan tugas, dll. yg rugi ya siswa itu sendiri. Tapi klo nakal, itu pasti merugikan orang lain, kayak suka tawuran, sok jadi preman, membuat gaduh, usil, dsb-nya. Karena pengertian nakal sama dengan perilaku merugikan orang lain, maka bila jadi kebiasaan akibatnya adalah kejahatan, jd nakal itu pangkal jahat. Seorang anak yg ditengarai memiliki problem delinquen atau kenakalan, bila dibiarkan berlarut2 maka ia cenderung akan senang melanggar aturan atau norma yg berlaku dimasyarakat.

Kenyataannya memang tidak mesti begitu, tidak selalu bahwa hemat itu pangkal kaya, rajin pangkal pandai. Tapi klo menurut hukum alam, hukum kausalitas, sebab akibat, umumnya klo anak yg sekalipun ngga cerdas klo rajin belajar lama-kelamaan pintar juga, sementara langka terjadi ada orang miskin boros yg bisa jadi kaya. Sesuai hukum kausalitas pula, para guru tidak boleh mengabaikan adanya siswa bermasalah.

Pada sehari sebelumnya, saat saya memberikan nasehat kebetulan ada dua kejadian yang lokasinya tidak jauh dr sekolah tempat saya mengajar. Pertama, ada peristiwa perampasan sepeda motor yang pelakunya sempat melarikan diri, tp ketangkap juga sama polisi..sedang satunya ada rumah yang digerebek polisi untuk menangkap 3 orang kakak beradik, dimana salah satunya belum lama keluar dari penjara. Kasus ini juga saya ceritakan sebagai contoh dampak dari kenakalan masa kecil yang terbawa hingga dewasa.

Mengatasi kenakalan remaja atau dalam istilah ilmiahnya dikenal sebagai Juvenile delinquency (kenakalan anak-anak muda) jelas tak mudah. Perilaku dursila dan durjana ini merupakan gejala penyakit yang ditengarai sebagai cacat mental dan sosial yang diakibatkan oleh pengaruh pergaulan buruk disekitarnya. Perilaku menyimpang pada anak-anak ini selanjutnya bila diabaikan akan menimbulkan pelanggaran hukum dan moral yang faktor penyebabnya bisa macam2, bisa berawal dr masalah ekonomi, ketidakharmonisan keluarga, pengangguran dan sejenisnya. Karenanya, lalu muncul perilaku kriminalitas yg dilakukan oleh anak dibawah umur, mulai dari pemerkosaan, narkoba, balapan liar, geng motor, dan tindakan lain yang meresahkan.

Pergaulan memang menjadi kata kunci penting bagi perkembangan remaja, terutama bagi anak2 yg tidak memiliki pondasi kematangan karakter alias gampang terpengaruh dan ikut2an. Klo anak yg sejak kecil kita tahu karakternya kuat, ia ibarat ikan dilautan yg tidak menjadi asin sekalipun hidup dalam air asin, tetap saja tidak berubah. Contoh lain, pengalaman pribadi saya sendiri, saya awalnya bukan perokok sampai kemudian kelas II SMA, waktu itu saya tinggal di kota metro Lampung yang jauh dr pengawasan orang tua. Temen2 sepermainan masa itu ngga hanya sebaya tapi juga anak2 lain kakak kelas atau adik kelas, bahwa beberapa diantaranya anak2 SMP. Kebetulan beberapa diantara mereka ini perokok, tentu saja diluar sekolah..lalu mereka menawarkan rokok cuma2 pada saya, tawaran itu cukup sering dan saya tak ingin menolaknya..berasa enak lalu jadilah saya perokok aktif hingga sekarang.
Makanya, satu belum lama ini ada seorang pengurus disebuah Yayasan sebuah pesantren tapi terlibat juga dalam pengelolaan sekolah yg berafiliasi ke Muhammadiyah nanya2 sekolah yg cocok buat puteranya di jawa, terutama di Jogja. Ia pengennya anak mondok tapi sekaligus bersekolah di sekolah yg bagus, dgn keragaman pembinaan bakat dan minat siswa. Saya katakan, tidak setiap pesantren cocok bagi semua siswa. Bergantung orientasi, klo ingin benar2 merasakan nuansa dan budaya pesantren, pesantren salaf adalah tempatnya. Namun, bila ingin ada variasi pengembangan bakat, maka sebaiknya ke pesantren modern. Berdasarkan pengalaman saya belajar dibeberapa pesantren, saya melihat bahwa banyak pesantren salafiyah punya kelemahan pada sistem pembinaan, termasuk pula sistem kemitraan dan tukar-menukar informasi dgn wali santri. Itulah mengapa, anak2 yg sejak awal nakal dan bermasalah sebaiknya tidak dimasukkan pada sembarang pesantren. Di pesantren salaf, kehidupan dan pendidikan keagamaan kerapkali terlampau dominan seakan2 santri itu mau dicetak jd kiyai atau ustadz saja. Sampai sekarang otokritik ini tak berubah walaupun tentu saja saya menghargai bila pengasuh pesantren punya paradigma berbeda tentang idealnya mengelola pondok pesantren.

Kembali ke masalah nakal pangkal jahat, fenomena kenakalan bagi persepsi umum yg berkembang di masyarakat dipandang situasi wajar dan lumrah serta bagian dr perkembang psikologis seorang anak. Memang, sebab kecenderungan anak terutama usia Abg memang masa2 dimana anak sedang mencari identitas dan jati dirinya, ia gemar mencari model yg menurutnya mampu membuat ia lebih dihargai, lebih diakui, lebih dikagumi dan lebih memperoleh perhatian. Tugas kita sebagai org dewasa tentu mengarahkan mereka bahwa cara memperoleh perhatian yg terbaik adalah melalui cara menunjukkan prestasi.

oleh Ainul Huda Afandi pada 17 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar