FENOMENA DAHLAN-JOKOWI


Rasanya tak keliru bila sy menyebut sosok Dahlan Iskan dan Joko Widodo alias Jokowi sebagai fenomena baru pejabat publik Indonesia. Keduanya punya karakter yg kurang lebih sama, ‘org lapangan’, nyantai, tegas, cekatan, nyentrik dan satu hal yg pasti, rakyat suka dgn gaya keduanya. Tentu saja tidak semua org suka, ada saja yg berkomentar miring dan sinis, katanya : pencitraanlah, lebay, berlebihan dan ungkapan2 lain yg sebetulnya lebih terkesan dengki ketimbang sebuah kritik.

Bagi saya, ada satu hal yg membuat saya mengagumi Dahlan Iskan atau Jokowi, yaitu konsistensi. Dinamika kehidupan ternyata tidak melunturkan karakter keduanya. Mereka awalnya jelas bukan siapa2, bukan keturunan ningrat, org tajir dan semacamnya. Keduanya berangkat dari bawah dengan perjuangan dan kerja keras, seperti halnya banyak pejabat publik lainnya. Lalu nasib mengantarkan Dahlan dan Jokowi pada strata sosial yg prestisius, punya kekayaan, kekuasaan dan popularitas, tp laksana ikan walaupun berada dilautan bergaram, tidak lantas menjadi asin rasanya. Pembawaan Dahlan tetap seperti saat ia memimpin Jawa Pos, PLN dan kini jadi menteri. Ia tidak merasa gengsi naik ojek, KRL, tidur di rumah petani, bersepatu sket, membuka pintu tol, ngepel toilet bandara dan perilaku pejabat yg sungguh tak normal dlm dunia birokrasi seperti sekarang ini.

Sementara Jokowi punya ciri yg sama2 tak lazim, ia berani bersikap berbeda dgn gubernur Jateng dlm ‘kasus’ pembangunan mall di solo, ia menjadi teladan saat menjadikan mobil Esemka jd mobil dinas walikota, ia tak menampakkan sifat pendendam saat Rhoma Irama menyerang pribadi org tuanya, bahkan ia mencium tangan Gubernur Bibit Waluyo untuk mencairkan suasana kaku dan upaya menghapus kesan permusuhan (sekalipun si Gubernur tetap saja memilih bersikap angkuh). Kini, seperti komitmen masa kampanye, sehari2 Jokowi memilih berdinas di lapangan. Dan seolah merepresentasikan dukungan publik, media massa pun dgn latah gencar memberitakan aktivitas Jokowi setiap hari. Kehadiran ‘wong solo’ ini demikian dielu2kan penduduk Jakarta disetiap kunjungannya. Mengingat jarang2 ada pejabat dgn gaya kayak gini, bolehlah kita sebut sbagai trend, fenomena mungkin juga akan jd ‘virus’ (dlm konotasi positif) yg menulari gaya pejabat dan calon2 pejabat di masa depan.

Apakah semua tindakan Dahlan Iskan dan Jokowi merupakan langkah politik pencitraan? Kalaupun iya, maka apa salah dan masalahnya? (sebetulnya boleh dong kita mencitrakan diri kita baik). Tapi untuk menjawab tudingan tersebut ngga terlalu susah kok, kunci jawabannya terletak pd konsistensi dan spontanitas. Spontan secara sederhana dpt dipahami sbagai tindakan reflek tanpa direncanakan sebelumnya. Misalnya klo ditengah jalan kita melihat suatu tabrakan kendaraan, maka ada dua pilihan yg tersedia, tetap bersikap cuek dan meneruskan perjalanan atau ngga pake berfikir panjang langsung turun tangan membantu para korban tanpa memperhitungkan untung-ruginya bila anda melakukan hal itu. Ini namanya spontan.   

Sementara contoh konsistensi, kalau anda di rumah terbiasa berpenampilan urakan, dan diluar rumah juga tetap aja penampilannya urakan, itu namanya konsisten. Ketika sedang tidak dilihat banyak org anda rajin bersedekah, dan saat berkumpul dgn banyak org anda tetap saja bersedekah, maka namanya juga konsisten. Artinya, itu memang sudah jadi gaya, karakter, sifat atau pun prinsip2 yg anda pegang teguh. Tanpa perlu punya niat mencitrakan sesuatu, apa yg anda lakukan akan membuat kesan tertentu pd org yg melihat.

Sementara pencitraan (dlm konotasi negatif) umumnya lahir dr pribadi yg tidak konsisten, palsu dan sarat kepura-puraan. Tidak sedikit pejabat publik di dunia dgn tipikal begini. Klo pas kampanye, rajin bersafari ke pasar2, menggendong anak kecil, merangkul rakyat jelata, dan perilaku tendensius lainnya, tp begitu terpilih atau gagal terpilih, ya kembali ke watak aslinya.

Apa yg telah dan sedang dilakukan Dahlan maupun Jokowi tak bisa ditiru secara instan, karena dampaknya akan berlainan. Siapapun yang berambisi menjadi anggota DPR, Bupati, Gubernur, Menteri bahkan Presiden boleh2 saja menjiplak gaya Dahlan dan Jokowi untuk meraih simpati pemilih, tp sepanjang itu bukan karakter asli, hasilnya boleh jd akan berbeda. Sekali lagi sifat kepemimpinan yg egaliter dan merakyat itu tdk dapat diciptakan secara instan, sifat seperti ini merupakan karakter kepemimpinan yg alami. Memang bisa aja dibentuk, namun tentu butuh waktu yg tidak singkat.

Mengingat menjd pribadi pemimpin yg egaliter  bukan hal yg mudah, maka sosok dan tokohnya tidak selalu ada di semua posisi jabatan politik dan kekuasaan. Dalam sejarah kekuasaan umat Islam, kita mengenal Khalifah Umar bin Khattab (sy tidak mengambil perbandingan dgn Nabi Muhammad, sebab beliau memiliki kualitas individu yg sulit dicari padanannya). Umar bin Khattab seorang pemimpin sederhana yg rajin terjun ke lapangan, terkadang dgn cara menyamar dan rahasia. Beliau ingin setiap waktu mengetahui kondisi riil rakyatnya, dan kerapkali solusi diambil secara spontan. Khalifah Umar bin Khattab terkenal sebagai pribadi yg keras, tegas dan penuh dgn idealisme. Tp jelas bukan keras tanpa batas atau idealisme ‘buta’. Idealisme yg beliau miliki tak bertentangan dgn realita. Misalnya beliau pernah membebaskan seorang pencuri dr hukuman potong tangan karena tindakan pidana itu dilakukan karena situasi darurat yg dapat mengancam jiwa dan kelangsungan hidup, sementara tidak ada opsi lain yg tersedia saat kejahatan itu dgn terpaksa harus dilakukan.

Contoh pemimpin lain yg sama2 egaliter dan kebetulan juga bernama umar adalah Khalifah Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz. Inilah Khalifah terbaik Bani Umayyah yg jd ‘permata’ diantara deretan Khalifah-Khalifah Bani Umayyah yg terkenal keburukannya.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak lama menjadi pemimpin, hanya dua tahun saja sebelum beliau meninggal akibat diracun oleh komplotan golongannya sendiri, bangsawan Bani Umayyah. Beliau rajin terjun ke lapangan menemui rakyat2 jelata, memecat pejabat2 korup yg sebetulnya mayoritas masih memiliki hubungan darah dgnnya. Beliau awalnya kaya raya, namun sejak menjadi Khalifah beliau memilih hidup sederhana, dlm rumah pribadinya, yg sempat membuat keheranan warga negara lain yg bermaksud menemuinya. Khalifah Umar pernah merebut sebutir apel diambil salah satu puteranya yg masih kecil dr keranjang buah hanya disebabkan buah2 itu berasal dr kas negara untuk dibagi2kan pada rakyat. Khalifah Umar juga pernah mematikan lampu diruang kerjanya, hanya gara2 anaknya datang dgn maksud membicarakan hal2 yg bersifat pribadi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz-lah yg menghentikan kebiasaan buruk para khatib selama puluhan tahun yg memaki2 nama Ali bin Abi Thalib berikut keturunannya di akhir khutbah Jum’at, menggantinya dgn lafadz do’a seperti yg sering kita dengar disetiap ibadah Jum’at.

Diceritakan bahwa dulu pada era kekhalifahan, para pemimpin menjadi ikon dan trend yg diikuti rakyatnya. Bila khalifah\ gemar membuat pesta2, maka rakyatnya turut menjadikannya sbagai tradisi dan budaya, artinya setiap kekhalifan menjadi contoh bagi rakyatnya. Maka ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkuasa, rakyatnya pun terpengaruh pula dgn kebiasaan2 Umar, taat pada syariat agama, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah terbaik selain Kholifah Rosyidin.

Kita sebagai rakyat tentu rindu dgn pemimpin2 seperti ini, dan bila suatu waktu nanti kita ditakdirkan sbagai pemimpin dlm bidang apapun, maka Rosulullah dan para pemimpin2 Islam terbaik setelahnya adlah teladan bagi kita. Sebagai rakyat, kita harus cerdas dalam menjatuhkan pilihan, jangan apatis dan masa bodoh, bila seorang pemimpin yg baik dan amanah belum tersedia, maka rakyatlah yg berkewajiban untuk ‘menciptakannya’ dan lalu berdiri sebagai pembela di belakang pemimpin tersebut.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 26 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar