BARU SEBATAS KORBAN PERASAAN


Hingga hari ini ternyata sy masih jd muslim yg kikir, setidaknya saat merayakan hari raya Qurban (idul adha). Terkadang dlm hati sy merasa malu, karena org tua sy yg telah menua cukup rajin ikut membeli binatang Qurban dengan diatasnamakan anak2nya. Sementara sy sendiri, entah mengapa belum tergerak juga untuk menyisihkan sebagian rezeki guna mengikuti ritual yg telah pernah dicontohkan Nabi Ibrahim. Dulu waktu sekolah dan kuliah, pertimbangan keterbatasan uang jd alasan, tp saat ini rasanya sy ngga miskin2 amat, tp nyatanya tetap aja 'bermental kere'. 

Oleh karena itu, ternyata ilmu terkadang tidak berkawan akrab dengan perilaku. Kepintaran dan kecerdasan memang sering membuat hidup lebih mudah, tp kepintaran menuntut tanggungjawab yg kerapkali diabaikan oleh para pengembannya. Kita boleh memilih hidup sebagai org pinter, boleh juga memilih tetap jd org bodoh, tp ada satu hal yg bersifat mutlak, jd org baik. Kebaikan akan membuat setiap perilaku kita alami, apa adanya tanpa dirusak motif dan tendensi tertentu, termasuk dlm hal kesadaran berkorban. 

Kita umumnya telah maklum tentang sejarah munculnya syariat menyembelih hewan Qurban. Syariat Islam itu secara praktek sebagian banyak memuat simbol2. Simbol adalah soal formalitas yg bersifat normatif, dibalik simbol ada makna dan esensi yg justru jd aspek terpenting dr syariat agama Islam. Shalat, puasa, zakat, haji dan termasuk ibadah Qurban adalah bagian dr ritual yg bersifat simbolik. Gerakan2 shalat tentu sulit dipahami sbagai realita komunikasi, gerakan shalat yg dimulai dr takbirotul ihrom adlah media dan alat bantu untuk memudahkan kita mencapai esensi shalat. Banyak org (termasuk sy) sejauh ini masih terjebak pd rutinitas simbolik, belum mampu melangkah jauh pd esensi. 

Demikian pula puasa, zakat, haji dan Qurban. Dalam syariat puasa, Tuhan telah memperingatkan kita agar melaksanakan ibadah ini dgn sepenuh hati, agar tidak jd ritual yg sia2, sekedar menggugurkan kewajiban dan pd akhirnya cuma mendapatkan lapar dan dahaganya saja. Esensi puasa pd hakekatnya adlah latihan sekaligus ujian mengukur kualitas keimanan. Bila setelah ramadhan, kualitas ibadah kita tidak menjd lebih baik, maka berarti kualitas keimanan kita masih rendah, masih jauh dr derajat taqwa. Sayang memang, bila kita selama ini sama sekali tak terobsesi dgn derajat taqwa, kita lebih suka menjadi muslim yg biasa2 saja. Padahal seorang muslim yg keislamannya biasa2 saja, maka akan jd org biasa pula di akherat kelak. Org biasa umumnya diabaikan dan sulit mendapatkan kemudahan. Kita tidak mengapa jd orang biasa yg kerap dipersulit dgn urusan2 duniawi, tp tidakkah kita ingin di padang makhsyar menjadi golongan istimewa dgn segala bentuk kemudahan menjalani masa2 yaumul hisab? 

Demikian pula zakat, bentuk simboliknya berupa bahan makanan pokok (mestinya tidak diganti dlm bentuk uang). Secara esensi mungkin sama saja, dan menurut sy sih boleh2 saja kita berzakat fitrah dgn uang, karena uang atau beras sama2 berharga dan memiliki efek menyenangkan bagi penerimanya. Namun akan lebih baik jika kita tetap mempertahankan bentuk simboliknya. Soalnya, kita harus sadar agama itu imam dan dunia dgn segala dinamika perkembangannya adlah makmum. Makmumlah yg berkewajiban mengikuti imam, bukan malah sebaliknya. 

Demikian pula ibadah haji, berpakaian putih, thawaf, sa’i, tahallul hampir seluruhnya merupakan ritual yg bersifat simbolik. Esensi haji yg terutama adlah pengorbanan, karena untuk menunaikan ibadah haji sungguh tak mudah, ibadah haji adlah ritual keagamaan yg paling ‘mahal’ pengorbanan materi secara pribadi, karenanya sering dipandang penyempurna dr rukun Islam. 

Sesuai tema catatan ini, bolehkan kita berqurban dengan binatang selain jenis konvensional yg selama ini dipraktekkan, kambing, sapi, kerbau dan unta? Maka untuk menjawabnya kita harus melihat konteks bagaimana ritual simbolik ini dimulai. Pada zaman Nabi Ibrahim, kambing termasuk jenis hewan yg cukup ‘berkelas’, tidak terlalu mewah, tp juga tidak berkesan ‘rendah dan murah’. Bisa saja waktu itu Allah memberikan Nabi Ibrahim hewan sapi atau unta sbagai tebusan atas diri Ismail. Tp di jazirah Arab, setau sy binatang sapi selain termasuk hewan ‘mewah’, juga tidak terlalu familiar dipelihara. Apalagi unta, bayangkan saja betapa repotnya org2 muslim diluar jazirah arab untuk berkorban bila bentuk simboliknya berupa hewan unta. Maka syariat kemudian menentukan jenis2 hewan yg dianggap pantas dr segi ukuran tubuh dan rasa dagingnya untuk dibagikan. 

Namun esensi sebenarnya dr Qurban adalah sejauh yg saya mengerti adalah ujian pengorbanan. Dlm pemahaman ini, sebetulnya dihari raya Qurban, umat Islam dapat ditradisikan untuk memberikan pengorbanan terbaik sebagai wakil yg pantas dr kepemilikan harta. Artinya, klo kita miskin, dan harta berbentuk hewan peliharaan paling berharga yg kita miliki hanya hewan unggas, boleh2 saja dijadikan hewan Qurban, toh menyembelih hewan Qurban tidak selalu harus dimasjid klo malu akan jd bahan ejekan. Sekali lg bentuk simboliknya adlah hewan, bukan uang, emas dan semacamnya. Ketika esensi menjadi budaya terpenting untuk dikembangkan dlm ritual menyembelih hewan Qurban, maka setiap kita akan memiliki kesadaran untuk tidak melulu hanya berposisi sbagai penikmat dan penerima hewan Qurban dr tahun ke tahun. 

Atas kesadaran dan pemahaman ini, maka idealnya kita memang harus selalu menyambut Idul Adha dgn satu pertanyaan mendasar, “saat hari raya itu tiba, apa bentuk pengorbanan kita?, apa yg akan kita korbankan sebagai tanda kita mampu lulus dr ujian keimanan sebagaimana Nabi Ibrahim memiliki keteguhan hati untuk mengorbankan putera tercinta, satu2nya (waktu itu), yakni Ismail”. Saya sendiri terus-terang malu untuk menjawab pertanyaan ini, dan bila kemalasan berkorban terus berlanjut sampai detik terakhir kesempatan hidup, sulit dibayangkan betapa malunya kita dihadapan Allah nanti.


 oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 25 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar