ANTARA HAK HIDUP DAN HAK MATI


Keputusan Presiden SBY untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman penjara seumur hidup terhadap beberapa terpidana mati kasus narkoba tak pelak menuai kontroversi. Alasannya sederhana saja, atas dasar kemanusiaan. Dalih ini diperkuat oleh oleh Menkumham, Amir Syamsudin dengan argumen Presiden SBY berulangkali melakukan usaha2 diplomasi untuk menyelamatkan para terpidana mati warga Indonesia yg terbelit berbagai kasus hukum, termasuk pula narkoba, jadi apa masalahnya jika ia juga bertindak sama untuk beberapa kasus tertentu di negara sendiri. Sekilas argumentasi ini logis, namun tidak memuaskan sekalipun kita tau grasi merupakan hak prerogratif presiden.

Di media, lantas kita dipertontonkan polemik. Komnas Ham dan sejumlah LSM seperti Imparsial dan kontras menyambut baik keputusan grasi oleh presiden. Wajar, karena mereka sudah terpengaruh paradigma bahwa hukuman mati sudah tidak relevan lg dijadikan salah satu opsi hukuman badan, banyak negara yg sudah meninggalkan bentuk hukuman mati, menggantinya dgn hukuman yg dianggap lebih ‘manusiawi’, model penjara akumulasi misalnya yg memungkinkan hakim menjatuhkan hukuman penjara puluhan hingga ratusan ratusan, terkadang melebihi batas normal usia manusia. Alasannya juga sederhana saja, kematian itu ‘hak’ Tuhan dan manusia tidak berhak untuk menggunakan ‘hak’ tersebut. Mereka dalam berbagai kesempatan menggunakan argumen yg hampir mirip, sistem peradilan indonesia itu kan masih korup, kalau terjadi kesalahan dlm menjatuhkan hukuman mati, maka itu akan jd kesalahan fatal yg sulit diperbaiki. Agak aneh juga argumentasi yg dikemukakan. Sebetulnya yg dipermasalahkan apakah hukuman mati sbagai bagian dr konstruksi hukum, atau proses penegakan hukumnya?

Hidup dan mati itu bagi manusia bersifat manusiawi. Siapapun manusia yg pernah melewati hidup, maka ia juga akan melewati mati (sebenarnya sih tetap aja hidup, cuma pindah tempat aja). Apakah hidup itu adalah hak? Maka pertanyaan senada adalah apakah kita punya hak untuk diciptakan oleh Yang Maha Pencipta? Klo saya memahami, hidup manusia itu kehendak Tuhan, maka matinya manusia juga lagi2 kehendak Tuhan pula. Manusia hadir ke muka bumi melalui perantara, dan ketika matipun lewat perantara pula. Sekalipun kita lahir melalui lubang yang (maaf) yang kurang lebih mirip, namun tingkat kesulitan, lama waktu, dan tempat kelahiran kita berbeda2. Demikian pula mati. Caranya bervariasi, perantaranya beragam, lama waktu dan tempat pun berlainan.

Memahami kehendak Tuhan adalah perkara yang rumit dan bagi banyak orang awam menjadi sesuatu hal yang sia2 karena sulit mendapatkan jawaban tak merusak iman. Namun dalam konteks hidup dan mati, bolehlah kita memahaminya dengan jalan berfikir yang sederhana.

Masing-masing kita sudah dikehendaki Tuhan tercipta sebagai manusia. Kita tentu tak boleh mempertanyakan kenapa kita harus tercipta, karena menjadi “ada” tentu saja mestinya merupakan anugerah, apalagi terpilih sebagai manusia, bukan jenis makhluk yang lain. Mengingat Allah Maha Mengetahui, maka Allah berkehendak dan Maha Tahu berapa lama usia kita. Apakah cara mati kita juga termasuk dikehendaki oleh Allah (wallahu a’lam). Kalo sy pribadi memahami, Allah menentukan umur kita, namun soal proses kematian telah didelegasikan pada sifat2, perilaku kemanusiaan dan hukum alam. Artinya, kalau misalnya ada seseorang di suatu hari ditembak org tepat pada jantungnya, menghentikan aliran darah, dan seluruh fungsi organ tubuh berhenti bekerja, maka sifat kemanusiaan, berlaku ia akan mati. Namun matinya seseorang merupakan kehendak Tuhan, manusia hanya terlibat dalam sebab musabab kematian seseorang. Menyebabkan rusaknya tubuh manusia pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali dengan hak2 yang dibenarkan dan diperbolehkan oleh Tuhan.

Sehingga, membunuh itu bukan sama sekali tidak diperboleh, boleh saja namun dengan alasan2 yg dapat dibenarkan oleh Tuhan, dan tentang hal ini diatur melalui syariat agama Islam. Ketika seseorang merusak tubuh yang menyebabkan rusaknya fungsi organ vital tanpa alasan yg dibenarkan, maka lewat agama Tuhan menjatuhkan sanksi, kita lalu dikenalkan istilah qishas (membalas dengan cara serupa, kalau ini soal teknis, tersedia banyak opsi, sekalipun tujuannya sama). Dalam konteks ini, maka hukuman mati itu diperbolehkan. Bukan berarti hukuman mati itu lantas merebut ‘kewenangan’ Tuhan dalam mencabut nyawa makhluk-Nya, tapi Tuhan memang telah mendelegasikan kebolehan merusak organ vital tubuh seseorang yg dapat menjadi sebab musabab datangnya maut, tentu dengan alasan yg dibenarkan. Kematian tetaplah kehendak Tuhan. Sekalipun misalnya, memberondong tubuh seseorang dengan ratusan butir peluru, kalau Tuhan tidak menghendaki maut menghampiri, ya ngga bakal mati juga.

Sekali lagi mati itu manusiawi, dan pelaksanaan hukuman mati juga tetap bersifat manusiawi. Mati itu kan dianggap luarbiasa, karena kita sering mengkonotasikan dgn kesusahan, penderitaan bahkan ‘kesialan’. Padahal mati tidak selalu jd awal nasib buruk, bahkan bagi sebagian org mati justru jd awal memasuki era kebahagiaan sejati. Maka, saya tidak habis pikir dengan jalan pikiran org2 yg mengaku Islam, tapi menolak hukuman mati, padahal proses hukuman mati itu ada dalam syariat Islam. Saya harus berkata, “hati2 dengan jalan pikiran, mengingkari adanya syariat yg sudah sangat jelas, dapat berakibat buruk terhadap keimanan dan keislaman”.

Okelah mereka yg anti hukuman mati menyebut juga soal relevansi dan efektivitas hukuman mati, juga soal memberikan kesempatan melanjutkan hidup. Maka kita harus bilang, hukum itu dibuat tidak sekedar demi kepentingan perorangan, namun yg jauh lebih urgen adalah kepentingan publik (keamanan, perlindungan dan keadilan).

Kalau kita memaafkan si pembunuh yg melakukan tindak pidana tanpa alasan yg dibenarkan, pertanyaannya adalah apakah kita telah berlaku adil pada org yg dibunuh? Ingat, org yg dibunuh di akhirat akan meminta pertanggungjawaban dan menuntut keadilan, apalagi bila ternyata org yg membunuh tidak memperoleh sanksi didunia sepantasnya. Termasuk pula ia akan menuntut para hakim dan penegak hukum lain yg berlaku tidak adil terhadapnya. Maka bicara soal relevansi, maka tidak ada peluang yg dibenarkan untuk menghapuskan hukuman mati, kita hanya boleh membicarakan relevansi teknis hukuman mati. Inti dari hukuman mati itu adalah kematian biologis, caranya macam2. Klau melihat sejarahnya, maka kita akan mengenal ada bentuk hukuman mati dengan cara dibakar, dipancung, dirajam, digantung, ditembak, dimasukkan kamar gas, disetrum dan yg terbaru lewat suntikan. Terserah soal teknis, sepanjang sesuai dengan perkembangan budaya kemanusiaan kita, tak ada masalah.

Sama halnya dengan bentuk hukuman potong tangan dan semacamnya dlm Islam, intinya kan membuat efek jera, klo ternyata ada bentuk hukuman lain yg dinilai lebih efektif, ya ngga masalah. Menurut pendapat saya, seluruh bentuk hukuman yg ada dlm fiqih dengan mengacu berbagai dalil dan dasar hukum adlah soal teknis yg sesuai dgn kebiasaan yg berlaku di zaman Rosulullah. Tapi sekali lagi itu soal teknis, boleh2 saja teknisnya berbeda sepanjang esensinya sama.

Agama dlm pemahaman yg sederhana adalah pedoman hidup. Ada hal2 prinsipil yg berlaku permanen hingga akhir zaman dan ada juga aturan dlm agama yg berbentuk opsi. Keimanan dan ibadah adalah hal2 yg prinsipil dan tidak boleh berubah. Sehingga kita diajarkan untuk tidak mengadakan hal2 baru dalam beribadah, khususnya ibadah2 yg bersifat pokok, misalnya shalat, zakat, puasa dan sebagainya. Namun hal2 yg berkaitan dgn hubungan sosial (muamalah, kesehatan, tata negara, dll), agama Islam lebih banyak menekankan pada norma dan diawal kehadirannya memberikan satu-dua macam opsi / pilihan. Opsi ini boleh saja berubah sepanjang tetap berpijak pada norma dasarnya. Dirajam dan dipancung itu kan efeknya sama saja, orgnya sama2 akan mati. Namun dua opsi ini dipilih lebih bersifat teknis dan pembedaan cara berdasarkan jenis pelanggaran. Boleh2 saja klo bentuknya diganti dgn jenis hukuman lain yg efeknya mati.

Oleh karena itu, terhadap polemik hukuman mati, tak ada cara terbaik bagi kita yg merasa umat muslim untuk mendasarkan cara berfikir kita pada konsep agama Islam. Toh kita tau, bahwa terpidana mati tidak selalu harus menjalani hukuman mati, seorang pembunuh bisa saja dibebaskan dr hukuman mati kalau keluarga korban memaafkan, pelaku narkotika kelas kakap, koruptor kakap dan kejahatan terhadap masyarakat / negara, bisa saja dibebaskan dari hukuman mati asal negara memberikan pengampunan.

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 18 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar