DEMOKRASI TANPA PARTAI


Saya termasuk di antara org yg skeptis terhadap keberadaan partai, khususnya dlm konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya yakin, banyak juga yg berpikiran sama dgn sy, cuma masalahnya kita sering beranggapan bahwa partai adlah instrumen utama dlm negara demokrasi, seolah2 tanpa adanya partai, maka sulit menciptakan tatanan negara demokratis.

Serentetan kasus korupsi yg melibatkan elit2 partai dari tahun ke tahun sejak era reformasi bergulir sbetulnya dpt menjadi refleksi kita sbagai bangsa untuk menimbang ulang keberadaan partai politik. Memang, tinggal sedikit saja negara yg tidak menyediakan mekanisme partai untuk menyaring pemegang kekuasaan negara, tapi sejauh ini parpol lebih berfungsi sebagai sarana merebut kekuasaan ketimbang alat politik perjuangan demi rakyat.

Secara riil, dunia politik itu lebih berupa permainan intrik, uang menjadi modal instan memenangkan pertarungan, dan penuh dgn kepalsuan. Lihat saja saat menjelang kampanye, berdalih silaturahmi dan sosialisasi, para calon pemimpin atau wakil rakyat mendadak jd murah senyum, ramah, sok akrab, intinya ingin dicitrakan sebagai figur yg merakyat. Sy terkadang klo sedang di jalan (kebetulan tdk lama lg Sum-Sel mengadakan Pilkada gubernur), mikir2 juga lihat baliho, poster, stiker dan sebangsanya yg memajang wajah2 calon gubernur. Kira2 satu baliho itu habis berapa ya..yg disuruh masang habis berapa juga ya..bikin rompi dan kaos itu kira2 biayanya segede apa..kesimpulannya, jangan mimpi jd bupati dan pejabat klo kita bukan termasuk kelompok org kaya raya (apalgi yg baru sekelas kaya’ org).

Jelas, realitas politik seperti ini tidak sehat, karena sama artinya kita membiarkan terjadinya diskriminasi, di mana tidak setiap org punya hak yg setara untuk dipilih menjadi pemimpin. Konsekuensi logis dr adanya partai adalah kebutuhan akan uang dlm jumlah besar, apakah mau org menyumbang dana besar buat partai jika tidak ada kompensasi yg sepadan?

Di sisi lain, sebetulnya masyarakat kita adlah masalah yg cenderung pasif dan skeptis dgn dunia politik. Mayoritas masyarakat kita tidak memiliki loyalitas permanen dlm mengarahkan orientasi politik mereka terhadap parpol tertentu, yg sering terjadi adalah trend atau bergantung pd pembentukan opini. Dunia politik kita pernah dikuasai cukup lama oleh Golkar pada era Pak Harto, sekalipun kita tahu demokrasi yg dikembangkan orde baru adlah demokrasi semu, karena yg sesungguhnya terjadi adlah oligarkhi. Adanya parpol tak lebih dr formalitas kenegaraan semata, dan buktinya Golkar punya peran besar atas tumbuh-berkembangnya budaya korup di Indonesia.

Golkar era reformasi sbetulnya tak punya banyak perbedaan dibandingkan Golkar zaman dulu, kecuali fakta bahwa parpol ini tak lagi berbasis pd figur, tp pada sistem dan mesin organisasi partai. Hal ini memang disadari Golkar, karena parpol yg berbasis figur daya tahannya hanya temporer belaka, mungkin satu-dua periode, eksis..sisanya tinggal menunggu masa punah aja. Lihat aja, PKB, demokrat, dan mungkin PDIP. Dunia politik tanah air pernah pula dikuasai oleh PDIP, namun keraguan publik terhadap kapabelitas dan kecakapan kepemimpinan Megawati membuat parpol ini kesulitan memenangkan pertarungan. Klopun saat ini hasil survei menunjukkan posisi PDIP cukup menguntungkan, itu karena PDIP sejak awal memposisikan diri sebagai oposisi. Saat ini, hampir satu dekade terakhir partai Demokrat tampil sbagai partai penguasa. Tapi partai ini tidak punya wajah dan karakter yg jelas dlm mencitrakan dirinya, tak lebih berisi kumpulan org2 yg punya ambisi kekuasaan dan hobi menampilkan dirinya sbagai figur publik. Belakangan ini, citra yg nyaris lekat dgn Partai Demokrat adlah partai korup, mengingat sejumlah elit politiknya yg tersandung kasus korupsi. Tak perlu menyebut parpol lain, karena sesungguhnya semua partai yg ada perilakunya sama aja. Cuma beda nama dan warna.

Tahun lalu energi kebutuhan kita terhadap informasi tersedot oleh pemberitaan Nazarudin, lalu Angelina Sondakh, Misbakhun, Anas Urbaningrum, sampai yg terbaru presiden PKS. Bagi saya tidak penting memperbincangkan individu2, apakah mereka bersalah atau tidak, yg jauh lebih urgen adalah seberapa parah perilaku korup (dgn aneka rgm modus dan motif) melibatkan politisi, apakah benar bahwa perilaku korup itu memang terorganisir sebagai mekanisme partai secara terselubung dlm mengumpulkan dana2 untuk menghidupkan roda organisasi. Ibarat narkoba, praktek korupsi tidak memiliki identitas tertentu, ia bisa terjadi di instansi milik negara atau swasta, bahkan yg dianalogikan sbagai organisasi ‘suci’ semacam takmir masjid maupun pesantren. Artinya, oknum2 itu selalu ada, yg jd masalah adlah bila oknum2 korup itu jumlahnya lebih separuh dr jumlah komunitas, saat org2 bersih akan mudah disingkirkan dr komunitas semacam itu. Kita tentu masih ingat peristiwa mundurnya almarhum politikus-artis Sophan Sopiaan dr keanggotaan DPR (mungkin jg dr aktivitas kepartaian), alasan jelasnya karena yg bersangkutan terlalu sering melihat perilaku korup yg bertentangan dgn hati nurani, dan karena tdk berdaya, hati nurani Sophan Sopian mampu mendorong tindakannya mundur dr dunia politik.

Intinya, saya bukan tidak menyukai partai, tidak juga memandang bahwa partai tak ada manfaatnya, tp eksistensi partai sesungguhnya sudah melenceng kelewat jauh dr fungsi awalnya. Karenanya, saya ingin menyodorkan dua gagasan yg barangkali terpikir juga oleh banyak org. Pertama, mempertahankan partai sbagai alat transformasi kekuasaan, namun dgn memperjelas dan membatasi kewenangannya. Ibarat pabrik, parpol sesungguhnya diasumsikan sebagai produsen calon2 pemimpin dan penyelenggara negara, namun ketika produk itu telah diserahkan pd rakyat selaku ‘pemesan’, maka otomatis terjadi peralihan hak dan tanggungjawab. Jadi, ketika seorang calon bupati, gubernur bahkan presiden yg dicalonkan atau ditawarkan oleh partai akhirnya terpilih, maka ia harus melepaskan segala macam atribut kepartaian, ia bukan lg milik partai, tapi milik masyarakat di suatu daerah atau milik bangsa. Tidak ada namanya keterikatan, pamrih atau balas budi, karena disitulah letak posisi partai sebagai alat perjuangan untuk rakyat.Bila sistem ini dipertahankan, maka saya tidak setuju adanya calon2 independen atau nonpartisan. Setiap calon pemimpin harus menjadi anggota parpol, tapi tidak boleh menjadi pengurus parpol. Keanggotaan parpol berarti setiap warga negara menyadari sepenuhnya tentang pentingnya memiliki orientasi politik tertentu, dan menyalurkan orientasi itu melalui wadah parpol. Mengapa pengurus parpol sebaiknya tdk boleh dicalonkan atau mencalonkan diri sbagai pemimpin, ini untuk menjaga agar niat dan i’tikad baik siapapun yg ingin mengelola partai tetap bersih dan murni. Parpol hanyalah sarana, dan pengelola sarana tidak seharusnya memanfaatkan sarana itu untuk kepentingan mereka sendiri.

Apakah gagasan seperti ini akan terwujud menjadi kenyataan? Sulit. Sama dengan kita mengajukan pertanyaan, maukah elit2 parpol itu melakukan kerja politik tanpa hasil yg memberikan keuntungan besar bagi dirinya sendiri? Maka, solusinya kembali pd rakyat. Motor utama gerakan rakyat sampai sekarang berbasis pada gerakan mahasiswa dan gerakan pekerja. Selama mereka adem ayem, membiarkan diri mereka dibodohi sekian lama, maka kondisi yg kita saksikan dr tahun ke tahun ya akan begini-begitu aja. Berita2 korupsi lama2 seperti makanan tempe yg sudah biasa kita santap sehari2.

Gagasan kedua yg agak radikal adlah membubarkan parpol, diganti mekanisme dgn berbasis daerah. Jadi, anggota2 DPR RI terdiri atas utusan2 daerah, yg proses pencalonan dan pemilihannya dilakukan di daerah. Besarnya jumlah utusan tentu didasarkan pada pertimbangan banyaknya jumlah penduduk dan luasnya area daerah. Saya membayangkan bahwa untuk terpilih sbagai utusan daerah, setiap kelompok masyarakat, apapun ormas dan lembaganya punya peluang mencalonkan seseorang sebagai utusan daerah. Kepada siapa dia harus bertanggungjawab, bagaimana proses pergantiannya jika yg bersangkutan tersangkut kasus hukum, sakit atau bahkan meninggal, dikembalikan pd mekanisme daerah, dimana DPRD menjadi pihak yg punya kekuasaan merepresentasikan aspirasi masyarakat di daerah.

Pesan saya, hati2 dgn pilihan dan kesempatan hidup. Jangan pernah menempatkan kita pd posisi yg suatu hari menyulitkan kita mengambil keputusan2 rumit. Memang, org2 besar adlah org2 yg berani mengambil resiko2 besar, tp klo boleh memilih sy (kini) lebih menyukai pilihan2 hidup sederhana dgn resiko yg sederhana pula. Berusahalah menjadi kaya, karena hidup miskin sering menempatkan seseorang pd situasi sulit dan terkadang hanya memberikan satu pilihan konkret, kejahatan. Jangan pula berambisi menjadi org yg terlalu kaya, karena kondisi tersebut sering menempatkan seseorang pd banyak pilihan, beberapa di antaranya juga mengarah pd kejahatan. Saya memiliki seorang teman yg suka mencari2 proyek di kementerian, dan saya tahu ia telah menyerahkan kehidupannya pd situasi yg suatu waktu akan menyulitkan dirinya sendiri, jd klo pengen hidup ‘nyaman’, ambillah resiko2 kehidupan yg paling ‘aman’.

Apa yg tertuang melalui catatan ini tentu saja sebatas wacana dan sumbang-saran sebagai wujud kesadaran kita sbagai warga negara yg semestinya benar2 memahami apa urgensi negara ini bagi kehidupan kita, sejauh mana kita sbagai bagian dr bangsa Indonesia punya hak terhadap keberlangsungan dan penyelenggaraan negara.  

oleh Ainul Huda Afandi (Catatan) pada 4 Februari 2013

1 komentar:

  1. keren bang, koq hampir sama dengan pemikiran saya ya.....hehehe

    BalasHapus