ANTARA SANDAL JEPIT, PISANG DAN KOTAK AMAL


Dari tahun ke tahun wajah Polri tidak kunjung membaik di mata publik. Setidaknya begitulah media massa nasional menggambarkan citra negatif institusi Polri selama ini. Tapi sesungguhnya tidak fair bagi kita menggeneralisasi imej buruk Polri secara menyeluruh, dgn kesimpulan enteng bahwa polisi itu emang ‘brengsek’. Kita harus ingat personel polisi itu jumlahnya ratusan ribu, dan semuanya manusia. Artinya, klo ada beberapa persen dari jumlah itu punya perilaku buruk, nakal..wajar sesungguhnya. Situasi ini ada di semua institusi pemerintahan lain.

Dipenghujung tahun 2011, masyarakat Indonesia dikejutkan dgn ekspos video aksi kekerasan dan tindakan barbar disatu lampung yg disebut2 dibekingi aparat kepolisian. Sebagai org daerah, saya percaya memang (dan biasanya) ada keterlibatan oknum aparat baik polisi maupun aparat pemerintah, namun bukan pada peristiwa pembantaian dan mutilasi warga. Sehingga kita tidak bs dgn mudah menyebut polisi terlibat dlm pembantaian yg klo berdasarkan video, itu terjadi di Sungai Sodong, OKI Sum-Sel. Itu konflik antara warga dan karyawan perusahaan perkebunan. Sementara kasus bentrokan di Bima lebih mudah kita pahami, karena kehadiran wartawan saat peristiwa terjadi. Itu memang penanganan aksi demo yg berlebihan. Klo melihat bunyi rentetan senjata, itu lebih mirip menembaki teroris ketimbang seharusnya pada demonstran. Kemungkinan benar para demonstran membawa senjata tajam dan melawan petugas, tapi klopun terpaksa harus melumpuhkan, semua harus tampak terukur dan tidak mengesankan frontal. Bagaimanapun mereka itu polisi, bukan militer. Dua kejadian penting ini segera menjadi sorotan publik, dan angka merah lalu dilekatkan pada petinggi Polri.

Kasus yg tidak kalah popular yg lagi2 melibatkan oknum polisi adlah kasus kriminalisasi pencurian sandal jepit yg disangkakan pada anak dibawah umur di makasar. Sebetulnya proses hukum sampai tingkat pengadilan atas pencurian sandal jepit tidak salah secara hukum positif yg berlaku di Negara Indonesia. Sehingga bagi saya polisinya tdk salah sepanjang alat buktinya cukup (namun belakangan ketahuan klo polisinya salah, pertama ada unsure penganiayaan untuk mendapatkan pengakuan tersangka, kedua ternyata alat buktinya berbeda, artinya si anak tidak mencuri sandalnya polisi tersebut). Persoalan ini menjadi perbincangan masyarakat (lalu muncul posko sandal jepit), bukan karena pelakunya masih remaja, tapi lebih pada nominal kerugian yg disebabkan karena perbuatan pidana. Sehingga menurut pendapat saya, ada tiga persoalan yg semestinya harus disikapi para pembuat KUHP.

Pertama, jumlah nominal kerugian yg layak diperkarakan sampai tingkat pengadilan, perlu tidak ditentukan jumlahnya berapa, sehingga petugas dilapangan punya dasar hukum yg kuat untuk memutuskan apakah melanjutkan proses hukum atau dihentikan atas pertimbangan kecilnya angka kerugian. Kedua soal penahanan, apakah pencuri barang dgn nominal kecil (persepsi ‘kecil’ ini jg perlu dirumuskan, sebab uang 1000 rupiah pun boleh jadi dianggap berharga buat org miskin) sebaiknya ditahan atau tidak, klo menurut saya sih tidak, cukup wajib lapor saja, mengapa ? klo misalnya ada penahanan, gimana klo ternyata hukuman yg dijatuhkan hakim lebih rendah ketimbang masa tahanan yg sudah dijalani. Itu sama artinya dgn ketidakadilan bagi pelaku kejahatan.

Ketiga, waktu proses mulai dari penyidikan, pelimpahan ke kejaksaan dan persidangan pengadilan. Untuk kasus dgn kerugian minimal, klo polisi misalnya tidak cukup menemukan bukti awal yg kuat, maka sebaiknya kasus tersebut dihentikan kecuali si korban mampu menunjukkan alat bukti yg meyakinkan. Berbeda halnya jika menyangkut kerugian besar dimana alat bukti mutlak kewajiban polisi untuk menemukannya. Umpama alat bukti ada, tersangka sudah diamankan, maka proses hukumnya harus cepat, tidak perlu menunggu berminggu2 seperti halnya pidana berat. Keempat, mediasi perdamaian, sebelum ada BAP seharusnya ada protap yg mengatur kewajiban bagi penyidik untuk melakukan mediasi atau perdamaian antara pelaku dan korban untuk kasus2 dgn kerugian minimal. Kelima, bentuk hukuman, sanksi penjara tidak layak diberikan pada pelaku dgn kerugian minimal, apalagi klo dikenakan pada anak dibawah umur. itu justru memicu persoalan baru, misalnya si anak bertambah nakal atau kemungkinan putus sekolah. Harusnya ada bentuk hukuman lain yg bersifat mendidik dan menimbulkan efek kerja, misalnya dlm bentuk kerja sosial.

Kasus berikutnya yang tak kalah menggemparkan diakhir tahun 2011 adalah kasus pencurian 15 tandan pisang yg dilakukan dua org yg ditengarai memiliki keterbelakangan mental. Klo benar fakta ada pencurian, 15 tandan jelas bukan jumlah yg sedikit secara materil walaupun klo dinominalkan mungkin harganya jg ngga seberapa. Secara substansi, kasus ini pantas diteruskan ke pengadilan, tentu dgn pertimbangan kedua pelaku sudah dewasa dan dianggap mampu bertanggungjawab secara hukum. Persoalannya, pertama benarkah keduanya cacat mental (sebab aturan hukumnya jelas, bahwa pengidap gangguan mental tak dapat diproses secara hukum), kedua motivasi pencurian pisang. Karenanya menarik untuk disimak kronologis perbincangan topan dan kuatno ketika berniat mencuri pisang dikebun org, apakah spontanitas atau terencana dan seperti apa modusnya. Ini kasus yg menarik, tidak saja bagi aparat penegak hukum tp para psikolog. Hasil kesimpulan pemeriksaan kejiwaan oleh psikolog akan menentukan nasib dua pelaku pencurian itu, apakah hakim mengambil putusan sela untuk membebaskan keduanya dgn alas an para tersangka tdk layak disidang karena problem mental, atau diteruskan hingga putusan final. Melalui TV, saya melihat dr sisi wajah dan bahasa tubuh kayaknya sih secara fisik keduanya memang memiliki ‘tekstur’ wajah pengidap kelainan mental (setidaknya begitu sejauh yg saya pahami).

Kasus ketiga yg semakin menodai citra polisi adalah tewasnya dua kakak beradik remaja tersangka tindak pidana, dalam tahanan polsek sijunjung di sumatera barat. si kakak, Badri (umur sekitar 17 tahun) kabarnya terlibat kasus curanmor, sedang  adiknya, namanya faisal ditahan karena kepergok mencuri kotak amal masjid. Hingga kini, menurut keterangan polisi berdasarkan hasil visum, kedua anak tersebut meninggal karma gantung diri. Tp jika muncul keraguan tentang penyebab kematian mungkin visum ulang dgn dokter spesialis forensik akan lebih meyakinkan. Klo dikatakan gantung diri dgn merangkai pakaian, maka pertanyaannya pakaian milik siapa, pasalnya sepasang celana pendek dan baju tahanan kayaknya ngga cukup buat gantung diri.

Namun sekalipun faktanya memang benar bunuh diri, persoalan tdk lantas selesai. Menurut cerita warga yg membawa Faisal ke kantor polisi, Faisal mengalami pemukulan yg bertubi2 (tanpa perlu saksi pun kita telah mafhum cara kebanyakan polisi melakukan interogasi pada pelaku kriminal murni). Apakah motif bunuh diri karena adanya penganiayaan yg mungkin saja terjadi setiap hari, ataukah ada tekanan fisik dan psikis dlm bentuk lain, yg pasti bila seseorang sampai nekad bunuh diri biasanya karena yg bersangkutan merasa putus asa, tak sanggup bertahan hidup..penyelidikan perlu untuk menguak penyebab dua kakak beradik itu sampai nekad bunuh diri walaupun saya pesimis dgn keseriusan klo misalnya pihak internal polri, propram berniat memeriksa kasus ini. Biasanya sih cuma mentok di sidang disiplin karena dianggap lalai menjaga tahanan.

Bagaimanapun ketiga kasus diatas sebaiknya tidak dilihat secara parsial, tp lebih ke akar masalah, yakni kelemahan dan ketidaklengkapan konstruksi hukum positif dinegara kita.

oleh Ainul Huda Afandi pada 14 Januari 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar