TRAGEDI LALU LINTAS


Hari minggu kemarin, kita dipertontonkan tayangan kecelakaan hebat di daerah Gambir Jakarta, ketika seorang pengendara mobil minibus secara brutal apapun kondisinya menabrak rombongan pejalan kaki, bahkan beberapa diantaranya tengah duduk dihalte hendak pulang. Dari 12 orang, 9 diantaranya meninggal dunia. Secara angka korban saja kita bias membayangkan tabrakan itu benar2 mengerikan. Rasanya tak perlu saya ceritakan seperti apa deskripsi kejadian, karena semua sudah diekspose terus-menerus dimedia massa (lg pula sy bukan saksi mata), bahkan di internet informasi yg bisa didapat lebih komplet, tanpa banyak sensor.

Kecelakaan ini menjadi berita besar karena pertama TKP nya ada dikawasan pusat perkotaan, lalu angka korban dan yg terpenting korbannya para pejalan kaki. Dari sisi pengendara, memang aneh karena jalanan itu sekalipun hari minggu dan bertepatan dgn car free day tidak benar2 sepi..lalu normalnya ketika mobil dlm posisi oleng, maka respon pertama org mestinya menarik kaki dr pedal gas mengerem sambil menstabilkan setir. Namun apa yg terjadi ternyata tidak..kenapa si pengendara justru membanting setir ke kiri, sementara ia pastilah melihat ada kerumunan banyak org disana..sejauh ini kita belum memperoleh informasi sudut pandang alasan pengendara yg kebetulan seorang cewek. Informasi yg kita dapat, si cewek bersama temen2nya dlm pengaruh narkoba.

Bagaimanapun mengendarai mobil memang berbeda situasi dgn mengendarai motor. Bahaya motor klo dalam kecepatan tinggi klo tidak menabrak maka jatuh karena ban selip. Sementara klo mobil, berhubung kita tidak mudah melihat posisi keseluruhan body mobil, maka kemungkinan terburuk ketika melaju dgn kecepatan tinggi klo tidak menabrak, ban pecah, ya terguling. Apapun, nasi sudah jd bubur, kecelakaan itu sudah jd takdir.

Namun jalanan di Indonesia umumnya memang tidak bersahabat baik terhadap pengendara maupun pejalan kaki. Di daerah saya sendiri, OKU Timur klo pun mau beli mobil mendingan ngga usah yg baru, rugi klo jalannya jelek begitu..apalagi klo mobilnya punya kelemahan di body. Sementara, bagi pengendara motor, melewati jalan disini merupakan siksaan tersendiri, karena kita ngga cuma harus waspada pada pergerakan pengendara lain atau org2 disekitar jln raya (berhubung jalanannya ngga lebar), tp juga harus awas dlm memilih jalan yg masih bagus, sering terjadi kecelakaan karena rebutan jalan.

Belum lagi pola sosialisasi aturan berlalu lintas yg belum sistematis, terutama terkait etika dan saling pengertian dijalan raya, termasuk kode2 tertentu yg walaupun tidak dibaku-kan dlm sebuah aturan berlalu lintas, namun mestinya dipahami jg oleh semua pengguna jalan. Misalnya etika dan kode membunyikan klakson, menghidupkan lampu sign dll. Yg sebaiknya disosialisasikan mulai dr tingkat SD atau SMP, karena sekarang anak2 SMP yg belum punya SIM banyak jg yg punya motor.

Sehingga, seharusnya Surat Izin Mengemudi (SIM) itu tidak hanya berarti kelayakan dan kecakapan dlm mengendarai suatu jenis kendaraan, tp juga memiliki pemahaman tentang etika dan aturan tak tertulis dijalan raya. Sayangnya soal SIM kebijakan pemerintah masih ambigu sampai saat ini. Apalagi realitanya, masih ada 'permainan' dlm pembuatan SIM, karena warga dipaksa harus 'nembak' agar bs buat SIM. Sudah jd rahasia umum, klo mengikuti procedural, maka pembuatan SIM itu akan dipersulit.

Yang saya heran tidak saja soal kerumitan dan keribetannya, tp juga soal duitnya. Misalnya klo mau bikin SIM dengan memanfaatkan calo atau model 'nembak', di daerah saya saya yg beginian tarifnya lumayan, SIM C 300 ribuan dan SIM A 450 ribuan. Padahal mestinya sih klo cuma bikin selembar kartu kayak itu ngga perlu biaya mahal. Coba aja kita pikir, apa sih biaya yg dikeluarkan Polri untuk kepentingan kayak gini selain biaya pengadaan kartu SIM yang harganya jg ngga seberapa, klo soal tenaga petugas..lah kan mereka dah digaji untuk melayani kepentingan masyarakat. Mbok, negara itu ngga usahlah matre2 amat ama warganya.

Karena pengurusan SIM itu birokrasinya ribet, makanya  banyak warga lalu memilih yg 'praktis' aja. Pikir mereka, ngapain ikut yg resmi2-an, emang sih murah tp sama aja bohong klo dipersulit trus gak diluluskan. Klo dilihat prosedurnya, tidak ada yg salah dgn keharusan tes kesehatan, tes tulis dan praktek. Cuma materi tes tulisnya selama ini kurang disosialisasikan. Belum lagi, tes kesehatan yang kesannya mempersulit bagi mereka yg punya problem fisik, misalnya aja buta warna.  Klo buta warna total, mestinya memang bagaimanapun ngga boleh mengendarai kendaraan, terutama di kota yg tersedia rambu2 lalu lintas. Tp, bagi orang buta warna parsial, mestinya ngga pa2..soalnya mereka kan masih bisa membedakan mayoritas warna. Kecuali, warna bangjo nya sengaja dibikin dari paduan warna2 sekunder yg menjadi kelemahan bagi para 'penderita' buta warna.

Kegiatan berlalu lintas semestinya menjadi cabang keilmuan baru yg harus diajarkan sejak seorang anak dimungkinkan untuk belajar mengendarai sepeda, motor atau mobil. Materi pelajarannya tentu tidak sekedar hanya gimana teknik mengendarai, tp juga mengenal rambu2 lalu lintas, mengenal fungsi komponen kendaraan yg penting mulai dari rem, persneling, gas, kopling dsbnya. Begitu pula mereka harus dikenalkan dgn berbagai kemungkinan dan situasi dijalan raya, baik dijalan2 kecil, jalan besar perkotaan sampai jalan lintas antar propinsi.

Contoh sederhana, misalnya kita sedang mengendarai mobil, tidak jauh di depan kita ada mobil sedang melaju dr arah berlawanan, mendadak ada kendaraan dibelakang kita berusaha menyalip, apa yg mesti kita lakukan, mengurangi kecepatan dan memberikan kesempatan menyalip atau lebih baik tak memberi kesempatan. Maka solusinya bergantung kondisi kendaraan di belakang kita, begitu pula perkiraan laju kecepatan kendaraan dr arah berlawanan. Bila kita bisa memprediksi mobil dibelakang yg mau atau sedang berusaha menyalip cukup cepat, maka sebaiknya kasih kesempatan dan mengurangi kecepatan, sebab bila kita sama2 cepat situasinya akan berbahaya. Sebaliknya, jika kita merasa mobil itu tak cukup cepat, bahasa jawanya "ora bakal nyandak" kita justru harus menambah kecepatan, biar mobil dibelakang tak jadi menyalip, tentu sambil menghidupkan sign kanan. Sebab bila kita mengurangi kecepatan, maka situasinya juga tidak kalah berbahaya, bisa terjadi kecelakaan beruntun.

Situasi berlalu lintas seperti contoh diatas sebaiknya termasuk bagian pendidikan berlalu lintas. Sebab tanpa pemahaman, pengetahuan dan pengalaman memadai, seorang pengendara amatiran yg tidak terbiasa merasakan berbagai kondisi medan dan kepadatan lalu lintas rentan terhadap kecelakaan. 

oleh Ainul Huda Afandi pada 26 Januari 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar